Membangun Cinta

Episode Melangkah
Jangan terburu-buru menyimpulkan ia cinta karena cinta mengenal dua harapan: kebaikan untukmu dan kebaikan untuknya. Mungkinkah ia dinamakan cinta jika pada akhirnya hanya membinasakan salah satunya? Ataukah ia cinta semu yang sebenarnya hanya mendesak jiwa melupakan prinsip hidupnya? Ah, pantas saja kalau mengalaminya dinamakan jatuh cinta; bukan bangun cinta. Bukan masalah sakit dan bahagianya, melainkan masalah apakah dia akan membuat sang pecinta mulia atau terhina?

Maka, dengan taufiqNya aku memutuskan untuk membangun cinta: memperjuangkan rasa ini ke jenjang pernikahan. Dengan bantuan perantara, aku mencoba memilihmu untuk menemani hidupku. Aku tak tahu bagaimana ekspresimu saat pertama kali mendengar niatku dari sang perantara, tetapi aku yakin kamu sempat terkaget-kaget dengan sikapku. Aku ingin menjadi Khadijah meskipun ini pertama kali bagiku untuk melangkah. Ya, kamulah yang pertama dan insya Allah yang terakhir jika kamu terima usulku untuk melamarku.

Jadilah imamku dan izinkan aku menjadi jundi di belakangmu
lengkapilah hidupku dan perkenan aku melengkapi bagian dari hidupmu
bantulah aku menjadi lebih baik dan biarkan aku untuk membantumu menjadi lebih baik

Aku akan meniru ucapan Bilal saat melamar seorang wanita untuk saudaranya, “Jika diterima akan kuucap Alhamdulillah; jika tidak akan kuucap Allahu Akbar!”

Aku memang pernah berani menamakan rasa ini dengan cinta, tetapi jika kamu tak menyambutnya dengan sebuah khitbah pun tak mengapa. Aku memilih untuk mempercayaiNya di atas segalanya, sedangkan bagiku cinta lain bisa ditumbuhkan dan kali ini untuk seseorang yang Dia pilihkan untukku. Aku telah bersiap mendengar jawaban penolakanmu sepenuh hati. Akan tetapi, kamu memilih jawaban sebaliknya: menerima usulku. Tiba-tiba ada serba rasa lain yang menyeruak dari dasar hatiku: senang, cemas, takut, bingung, dan seribu rasa lain yang tak kumengerti.

Nikah adalah ibadah dan waswas syaithan mengganggu hendaknya ibadah itu bagiku. Padahal aku yang berinisiatif, tapi mengapa setelah ini aku menjadi takut. Aku merasa belum siap. Aku takut kamu terlalu ideal menilaiku padahal apalah aku ini? Atau malah aku yang sebenarnya mungkin tak mampu menerima semua kelebihan dan kekuranganmu? Nyaris saja kubuat proses ini gagal jika aku tak memohon kepadaNya untuk meneguhkan azam untuk melangkah. Sementara itu, aku tak pernah mendengar keraguan dari lisanmu. Bahkan, aku tak menyangka kamu bersemangat mempercepatnya. Ah, ijab itu telah semakin dekatkah?
@@@

Episode Kesunyian
Lagi-lagi sebuah sms yang menggoncangkan hati. Rindu telah mengetuk-ngetuk pintu hati ini untuk kembali pada pertemuan itu: pertemuan untuk berhimpun dan berjuang di jalan cinta. Setelah sekian lama aku menunggu panggilan itu kembali, akhirnya… akhirnya… Rabbi, Engkau lebih tahu reaksi hati ini saat membacanya. Maka, izinkanku kembali dengan sungguh-sungguh dan juga bertahan dengan sungguh-sungguh.

Aku akan meminta izinmu terlebih dulu, bahkan aku berharap kamu bisa hadir mendampingiku. Akan tetapi, aku tak menyangka kau bertanya dengan gusar apakah aku lebih mencintaimu atau lebih mencintai aktivitasku. Jangan kamu tanyakan seberapa besar cintaku kepada jalan ini! Entah berapa banyak air mata yang tumpah dan peluh yang jatuh untuk membayar cinta ini. Oleh karenanya, saat aku hampir kehilangan kesempatanku untuk kembali berjuang di dalamnya, kuteteskan air mata berkali-kali karena tak rela. Kumohon jangan renggut kebebasanku dalam menikmati perjalanan ini. Kamu tidak boleh memintaku lebih mencintaimu daripada berjuang di jalanNya karena itu terlalu sulit!

Melihat air mataku, akhirnya kekerashatianmu luluh. Syukur kupanjatkan karena akhirnya kamu mengizinkanku jika aku bisa segera pulang. Sebenarnya aku sedikit kecewa karena aku tak mendapati jasadmu pada agenda besok; aku hanya mendapatkan izinmu. Padahal jika saja kamu tahu, harapku saat memilihmu dulu: aku ingin pergi ke agenda sejenis ini bersama-sama dengan suami dan anak.

Tidak mengapa. Baiklah, aku mencoba mengerti bahwa kamu tengah sibuk dengan urusan kerjamu. Aku paham dan mengikhlaskan kamu sibuk dengannya meski jujur tetap ada sebersit cemburu di hatiku karena kau lebih memilih pekerjaanmu. Kan pada akhirnya hasil kerjamu untuk hidup kita, bukan? Hanya saja, mengapa kamu tak tanya perasaanku saat kau tak bisa ikut denganku? Ah, aku terlalu banyak berharap. Baiklah, lupakan kemanjaanku karena waktuku saat ini adalah pergi ke medan!

Namun, aku tak bisa memungkiri rasa iri di hati ketika melihat pasangan-pasangan itu hadir bahkan disertai buah hati mereka. Sementara itu, aku yang sebenarnya sudah memilikimu sama kesepiannya (atau bahkan lebih kesepian) dengan akhwat lain yang masih lajang. Bolehkah aku berharap suatu saat kita pergi ke agenda sejenis ini berdua, bahkan dengan anak-anak kita kelak? Yaya, insya Allah aku yakin kamu mau. Masakah kamu tidak mau menyenangkan hati istrimu? Aku terus-menerus berharap dalam hati. Semoga, ya, semoga saja.
@@@

Episode Romansa
Aku tersenyum senang melihat ekspresi khawatirmu. Bukan karena aku sebegitu tega, tetapi aku sudah lama tidak melihat ekspresimu seperti hari ini. Bahkan, kamu berjanji takkan meninggalkanku sendiri lagi. Benarkah itu?? Allahu Akbar! Ternyata kehadiran janin dalam rahimku membawa berkah karena telah meluluhkan hatimu.

“Hamil??” tanyamu kemudian bersujud syukur. Alhamdulillah penantian kita selama ini terjawab, bukan? Bukan karena aku terlalu letih maka kita terlambat memiliki buah hati, bukan… melainkan karena interaksiku denganNya kurang di malam-malam sunyi. Dan kali ini doa kita dijawabNya. Oleh karena itu, aku mohon kepadamu, Kasih: pegang janjimu!
@@@

Episode Air Mata
“Ummi!” pekikan Azka sempat terdengar di sela-sela ketidaksadaranku.

Aku tidak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri. Yang kurasakan hanya kepalaku berat saat sadarkan diri. “Abi sudah pulang?” tanyaku kepada kedua anakku, tetapi jawaban mereka hanya gelengan, “jangan bilang abi soal tadi ummi jatuh, ya… ummi hanya kelelahan,” jelasku dan kali ini mereka mengangguk. Kupandangi mereka yang akhir-akhir ini sering kehilangan sosok abinya. Kurangkul mereka; kurasa bukan hanya aku yang kesepian. Dalam hati aku menangis dan berusaha mengatakan, “aku mencintai kalian, anak-anakku…”

Ingin kukatakan padamu agar tidak salah dalam memandang kedudukan dan berhati-hati saat ada arus: jangan ikut hanyut. Coba kaulihat di dalam sana ada apa. Sebongkah pualam telah menjelma logam menghitam. Yang kuherankan, mengapa kamu tak jua sadar? Bahasa sederhana apa lagikah yang dapat membuka mata? Sementara itu air raksa pun tak bisa memecahkannya… kau tahu? Aku lelah menghadapimu!

Malam itu aku mencoba bicara baik-baik denganmu. Kubuka dengan hangat mungkin lebih dari biasanya, kuharap kamu mau mengerti. Aku ingin kita berwirausaha tanpa melibatkan pihak mereka: memulai kembali semuanya dari nol. Akan tetapi, tak kusangka kamu begitu marah saat mendengar ide gilaku. Bahkan, beberapa malam setelah itu aku merasa kamu tak lagi melihatku sebagai istri: kamu pergi kemana tanpa memberi tahuku?? Padahal, jika saja kamu tahu… Ah, tapi benarkah firasatku bahwa kebersamaan kita hanya tinggal beberapa saat lagi?

Dalam kelelahan dan kelemahanku, aku hanya bisa mengadu dan berpasrah kepadaNya. Dengan kekuatan darinya di malam yang sangat sepi, saat anak-anak telah tertidur, kutulis sepucuk surat yang kuharap bisa kamu baca. Whatever happened next, I’ll always love you. Aku akan tetap mencintaimu dengan caraku; kuharap kamu pun demikian halnya; cintailah anak-anak kita juga. Kuharap mereka mendapatkan pengganti yang lebih baik dari sisiNya saat orang tuanya sedang tak ada di sisi mereka.
[end]

Epilog:
Sudah 20 tahun lebih sang suami menduda dan saat ia ditanyakan mengapa tidak menikah lagi (apakah karena anak2 tidak mengizinkan), ia menjawab, “Bukan karena anak2 tidak mengizinkan, bahkan mereka sangat mendukung, tapi karena saya merasa tak bisa menemukan istri sepertinya. Ia selalu mengajak kepada kebaikan saat yang lain mengizinkan saya untuk sesekali berbuat kelalaian. Saya belum bisa membuka hati untuk mencintai yang lain dan khawatir malah menzhaliminya.”

Qana’ah Dzatiyah

Qana’ah dzatiyah atau ada juga yang mengatakan qana’ah fardhiyah merupakan salah satu poin yang terpenting dalam ta’aruf*. Singkatnya dalam bahasa Indonesia adalah kriteria pasangan ideal (menurut pribadi masing2). Nah, bahasan kita kali ini sebenarnya terkait janji ochie tentang membahas maksud “1 kafa’ah” atau “sekufu” dalam artikel lain.

Setiap orang berhak menentukan sendiri apa kriteria yang ia harapkan pada diri pasangan. Apakah ia ingin yang kaya raya, rupawan, berpendidikan dan atau berkedudukan tinggi, dll? Akan tetapi, ada yang Rasulullah sarankan untuk memprioritaskan satu kriteria di atas kriteria lainnya.

“Perempuan itu dinikahi karena empat faktor, yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” (HR Bukhari dan Muslim)

Tidak salah pula berharap 1 paket faktor utama itu ada pada 1 orang, tetapi bercerminlah kepada diri kita apakah kita manusia sempurna sehingga mengharapkan pasangan yang tanpa cacat cela?? Maka, turunkanlah standard kriteria menjadi terprioritas: sholeh harus menjadi yang pertama, tetapi yang lainnya??

1. rupawan
kriteria ini sangat relatif dari seorang bagi seorang lain. yang terpenting adalah yang menyenangkan hati jika melihatnya… dan menurutku pribadi cukuplah ia yang murah senyum dan lisannya terjaga dapat dikategorikan rupawan; sepakat?

2. kaya
kriteria ini juga sama relatifnya. yang sebaiknya kita pilih adalah kekayaan yang tak pernah habis meski dibagi-bagi. apa coba itu? yup, harta itu bernama ilmu^^! harta itu akan habis, sedangkan ilmu yang mendukung kekayaan di dunia dan akhirat takkan pernah habis; sepakat?

3. kedudukan
kriteria ini dapat juga disandarkan pada nasabnya, tetapi ia sama lemahnya dengan kriteria lain karena sifatnya yang fana. maka, pilihlah pasangan yang potensi kedudukannya di sisi Allah sangat besar sehingga kedudukan itu akan kekal di surgaNya kelak; sepakat?

Lantas, bagaimana cara mendapatkan dia dengan kriteria yang kita harapkan?

Jawabannya adalah dengan terus-menerus melakukan perbaikan diri agar kita layak untuknya. Sebab sekufu itu adalah keniscayaan dan janjiNya: …wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)… (QS An Nur:26)

Sama baiknya atau sekufu dalam konteks ini bukan berarti kita sama dalam segalanya. Atuh ga seru klo gitu mah! Sebab perbedaan dalam pernikahan itu bumbu yang menghidupkan bahtera (weh, istilahnya). Akan tetapi, menurut seorang ustadzah yang mengisi Sekolah Pra Nikah di Salman, sekufu itu bermakna total poin kebaikan kita = total poin kebaikan pasangan (meski di tempat yang berbeda). Pernikahan pun menjadi momen akselerasi perbaikan ketika kelebihan dan kekurangan satu dengan lainnya saling menyempurnakan.

Ketika kita merasa pasangan kita tak layak untuk kita, coba lihat lebih dekat jangan2 yang salah adalah pada diri kita. Atau mungkin saja ada potensi kebaikannya yang belum tereksplorasi sehingga itu peluang kita untuk meng-upgrade dirinya. Dengan meng-upgrade dirinya, kita pun sebenarnya secara tak langsung meng-upgrade diri kita. Intinya: kadang kriteria harapan itu bukan input pernikahan, melainkan output pernikahan.

Eiss, meleber! Si ochie susa fokus ni…

Di atas semua kriteria yang diharapkan, balik lagi: jangan lupakan prioritas agama bernama taqwa! Sebab inilah kunci kebahagiaan dan kesuksesan dunia akhirat. Pasangan yang bertaqwa merupakan karunia terindah yang akan mendirikan surga di dunia dan mengekalkannya di akhirat.

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Al Hasan Al Bashriy rohimahullah dan berkata kepada beliau, “Sesungguhnya aku punya seorang putri yang kucintai dan banyak orang ingin melamarnya, maka apakah saranmu kepadaku wahai Al Hasan Al Bashriy ?” Al Hasan Al Bashriy mengatakan, “Nikahkanlah ia dengan laki-laki yang takut kepada Allah karena jika ia mencintai anakmu maka ia akan memuliakannya dan jika ia tidak menyukainya maka ia tidak akan mendzoliminya”.

Aku Ingin Menikah

Mengutarakan kalimat ini pertama kali ke pihak-pihak yang berperan dalam hidup sangatlah berat, khususnya buat wanita: MALU. Hei hei, kenapa tidak coba kita utarakan jika memang ingin? Ochie pernah ada di titik ini dan berusaha keluar dari zona nyaman dengan memutus urat malu. Iya, aku ingin menikah! Tolong carikan pacar bernama suami untukku! Iya, aku sangat ingin menikah! Mohon dimudahkan prosesnya (meski hanya dengan sekedar doa)!

BERANI?

Belum cukup sampai di sana. Kadang pihak-pihak tersebut langsung merespon positif, tapi sering justru malah mempertanyakan, “Koq anak ini ngebet banget?”. Bahkan frame tetua yang ga paham agama justru menyarankan anaknya pacaran dulu, memperlebar kemungkinan maksiyat, bahkan tidak khawatir anaknya terpelanting ke lembah zina (na’udzubillah). Mungkin ada alasan kekhawatiran tidak mampu mandiri, belum bisa memimpin / dipimpin, dll… karena standar siap bagi mereka sangatlah tinggi: mapan, berpenghasilan sekian puluh juta, punya rumah, punya kendaraan, dsb.

BENARKAH DEMIKIAN?

Respon mereka memang realistis, tapi menurut pandangan agama: materialistis. Kenapa tidak diturunkan standarnya? Cukuplah bisa kontrak rumah dan punya penghasilan yang cukup untuk berdua, yakni konsumsi makan (masak sendiri), ongkos, listrik, air, dsb (standar sederhana di Bandung: 1 juta/bln, insya Allah). Indahnya dalam pandangan agama Islam bahkan: rezeki justru akan dimudahkan setelah menikah. Mungkin ini ga logis dalam pandangan manusia, tapi ini janji Allah! Tanyakanlah pada orang-orang nekat yang melakukannya semata karena ingin menjaga diri… mereka akan menjawab: ya benar!

LANTAS GIMANA?

Nikah siri? Nikah diam-diam?? Wew, ya gak jugalah. Nikah siri sebenarnya sedikit bertentangan (meskipun ada ikhtilaf atau perbedaan di kalangan ulama) sebab pernikahan itu disyari’atkan untuk disyi’arkan, diumumkan kepada publik. Adakanlah walimah meski dengan syukuran sederhana seandainya tak ada dana besar untuk walimah. Back to kendala izin pihak2 “penghalang”, perlu seni komunikasi saat bicara dengan pihak-pihak tersebut. Perlu niat, perlu konten, perlu kesabaran, perlu keimanan.

MARI PERJUANGKAN!

Luruskan NIAT di hati bahwa menikah adalah sunnah Rasulullah yang pastinya akan mendekatkan kita kepada Allah jua. Menikah ini jalan kebaikan bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat. Menikah memiliki koridor syari’at yang harus tetap dijaga untuk mempertahankan keberkahan agar kekal cinta di dalamnya. Menikah bukan untuk senang-senang sesaat untuk kemudian bercerai hanya dalam waktu hitungan tahun. Menikah bukan karena dilandasi harta, kedudukan, keturunan, rupa yang jika Allah cabut semua itu, selesailah semua. Menikah bukan disebabkan calon istri telah dihamili calon suami (na’udzubillah).

Persiapkan KONTEN untuk melobi. Apa c konten? Setiap permasalahan komunikasi ingin menikah punya konten berbeda, tetapi biasanya yang seragam itu adalah soal tujuan. Keinginan selalu dilatarbelakangi oleh sesuatu tujuan, begitupun menikah. Apa tujuan dari sebuah pernikahan? Setidaknya ada 4 tujuan utama yang disebutkan dalam al-Quran dan as-Sunnah:
1. Menjaga kesucian farj (kemaluan) dari perzinaan serta menjaga pandangan mata. (QS 24: 30-31)
2. Melahirkan rasa tentram (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). (QS 30:21)
3. Mendapat keturunan, dimana anak akan menjadi Qurrata A’yun (penyejuk mata, penyenang hati) (QS 25:74)
4. Memperbanyak ummat Islam. Seperti yang dipesankan Rosul, beliau akan membanggakan jumlah ummatnya yang banyak nanti di akhirat.

Ochie akan share sedikit beberapa contoh tujuan lain yang sebenarnya turunan dari yang di atas, tetapi dengan bahasa kemasan berbeda: ingin dipimpin / memimpin seseorang, rindu seorang penyemangat yang terus berada di samping kita, perlu seorang pengimbang saat mengambil putusan, tak punya kontrol diri yang baik terhadap fitnah zaman, dikejar psikopat cinta, dsb. Teman-teman pasti punya bahasa sendirilah biar mereka paham. Cobalah, siapa tahu salah satunya bisa meruntuhkan pendirian mereka.

Selain konten tujuan (paling panjang nih bahasan ini), ada konten kesiapan, yaitu membuktikan bahwa kita sudah siap mengambil tanggung jawab itu. Ada juga konten da’wah seperti yang melatarbelakangi sebuah pernikahan berdasarkan perspektif agama atau bahkan keilmuan lain (yang disukai mereka). Konten apapun itu, jangan biarkan mereka tak mengerti bahasa kita karena ke-sok tahu-an kita. Tak semua orang pandai memillih diksi, tapi intinya lakukan ikhtiyar terbaik kita.

Jangan anggap instan dan kuatkan KESABARAN dalam melobi. Seni komunikasi yang paling harus diasah adalah ini. Mungkin ada yang berhasil dengan sekali bicara, tetapi seringkali banyak yang gagal berkali-kali sebelum sukses diizinkan. Mulailah komunikasi ketika kondisi hati mereka lapang, berikan sesuatu boleh dilakukan sebelum membuka komunikasi, dan dengarkan mereka dengan telinga sekaligus hati, baru mulailah bicarakan konten dengan mengalir, gunakan perspektif mereka, kemudian pandai-pandailah mendebat dengan menghindari kata “tapi” atau pengingkaran terhadap yang mereka bicarakan.

Yang tak kalah penting adalah KEIMANAN. Yakinlah bahwa Allah akan menjawab doa dan harapan kita (masalahnya pernah berdoa ga?), teruslah husnuzhan kepadaNya (hindarilah su’uzhan sekali pun), dan jangan menyerah (ikhtiyar, ikhtiyar, dan ikhtiyar). Anggaplah ini momen untuk mendapat sebanyak mungkin pahala, semakin mendekat kepadaNya, semakin memperlama sujud kita, dan mencintaiNya di atas segalanya. Semoga Allah menjawab tawakkal kita kepadaNya^^.

MENIKAH? YUK!

Kesiapan Pra Nikah

dari blog pribadi sebelum menikah:

Sebelum memulai langkah pertama, yaitu mencari calon suami yang sekufu (paan c sekufu? insya Allah dibahas di next artikel), ada beberapa yang harus dicek sebagai parameter kesiapan. Apa aja emank? Dari beberapa buku yang pernah kubaca, kira2 inilah resumenya:

a. kesiapan jasadiyah atau fisik
Kesiapan ini dimiliki laki-laki dan wanita yang telah menginjak usia akil baligh (laki-laki ditandai dengan mulai diproduksinya sperma, sedangkan wanita ditandai dengan dimulainya haidh atau menstruasi). Itu artinya organ reproduksi mereka sudah aktif. Dengan demikian, kesiapan pertama sudah dipenuhi.

b. kesiapan fikriyah atau ilmu
Kesiapan ini dilakukan dengan mencari pengetahuan tentang fiqh pergaulan, fiqh ta’aruf, fiqh munakahat, dan advancednya mungkin tarbiyatul aulad / mendidik anak. Termasuk di dalamnya pengetahuan basic, doa-doa, adab perilaku, hingga konflik puncak di dalamnya (talak, ila’, khulu’, zihar). Ilmu ini sangat penting untuk memelihara kebahagiaan di dunia dan tentu saja juga di akhirat.

c. kesiapan ruhiyah atau mentalitas
Kesiapan ini adalah yang paling abstrak menurutku, tapi setiap orang punya parameternya masing2. Ada yang mengukurnya dengan rapinya amalan yaumi, ada yang mengukurnya dengan siap menerima seorang baru yang masuk total dalam kehidupan qta dan menerima 1 keluarga lagi sebagai keluarga qta (siap? hmmm, binun ya dengan kata siap ini). Ada juga yang mengukurnya dengan kontrol emosi. Dkk. Inti ksiapan ini adalah siap memelihara dan mempertahankan pernikahan agar langgeng.

d. kesiapan maaliyah atau kemandirian
Kesiapan ini singkatnya adalah kesiapan finansial; hidup terpisah dari orang tua, mencukupi kehidupan berdua dan anak2 kelak, serta melaksanakan kewajiban zakat dll dengan uang sendiri. Biasanya kesiapan ini dibebankan di pundak kaum adam, sedangkan kaum hawa lebih cenderung dibebankan harus sudah siap dengan perencanaan dan pengelolaan keuangan keluarga.

e. kesiapan ijtima’iyah atau sosial (plus2)
Sebagai tambahan, ada beberapa buku yang menambahkan ini sebagai kesiapan. Inti dari kesiapan ini adalah berperan aktif di lingkungan masyarakat. Artinya, pasangan baru harus siap menerima konsekuensi bahwa status mereka bukan anak dari orang tua lagi, melainkan keluarga baru yang memiliki hak dan kewajiban sebagai bagian dari masyarakat.

Ok, bismillah…
Sebagai langkah pertama, meski ochie belum mulai praktek (kalau kata sebuah milis mah nilai SKSnya masi T, tapi insya Allah mudah2an bentar lagi jalan menuju dapet nilai A), mudah2an ini jadi inspirasi bagi teman2 yang kebingungan. Kalau jodoh belum datang juga, kita persiapkan aja apa yang kita bisa dari sekarang!

Buat istriku tercinta, semoga engkau bahagia

Aku tidak tahu dari mana harus memulai menuliskan beberapa rumpun kalimat buatmu, wahai istriku. Aku juga tidak tahu apakah kepolosanku dan ketulusanku ini akan mendapat sambutanmu. Tapi aku tiada pedulikan itu. Yang pasti, aku hanya ingin engkau tahu bahwa aku adalah suamimu.

Aku tahu bahwa sebagai suami ternyata aku sangat membutuhkanmu, aku katakan ini sejujurnya. Lalu apakah engkau juga sangat membutuhkan aku, suamimu, wahai istriku? Maafkan aku atas pertanyaan ini. Bukan aku meragukan cintamu padaku, aku hanya ingin meyakinkan diriku. Sebab, kebanyakan istri kerabat maupun sahabat-sahabatku pun sangat besar rasa butuhnya terhadap suami mereka. Oleh sebab itulah aku mencarimu untuk kujadikan istri, sebab engkau adalah seorang wanita yang sholihah, lembut, sopan santun, mulia, bertakwa, suci, menjaga diri dan penuh kasih sayang.

Istriku, aku tidak segan-segan berterus terang kepadamu, meski hanya dalam bentuk goresan tinta kita ini di atas lembaran kertas yang juga milik kita, bahwa aku sangat membutuhkanmu. Dan aku tidak menginginkan dari itu semua selain agar tumbuh rasa dalam dada kita berdua akan pentingnya saling menjaga hubungan baik di antara kita. Dan bahwa hubungan yang baik itu jauh lebih mulia daripada kita berlomba-lomba dengan maksud agar diketahui siapa di antara kita berdua yang lebih unggul. Aku berharap engkau pun telah memahaminya.

Istriku, jujur aku katakan bahwa keberadaanmu sebagai istri bagiku kurasakan sangat penting bagi diriku, akalku, hati serta jiwaku. Bahkan sangat penting bagi kehidupanku juga setelah kematianku. Maka kutuliskan suratku ini untukmu, semoga engkau benar-benar mengerti betapa tingginya kedudukanmu sebagai seorang istri, betapa beratnya wasiat agama kita yang telah dibebankan kepadaku setelah aku menikahimu, dan betapa berartinya dirimu bagiku, suamimu.

Istriku, jujur kukatakan, bagiku engkau laksana permata yang sangat berharga yang tadinya aku tak tahu dimana engkau berada dan ke mana aku harus mencari.

Sungguh dunia ini penuh dengan perhiasan, sampai aku tidak kuasa memilih perhiasan mana yang harus kuambil untuk kumiliki, sampai akhirnya Alloh memberikan petunjuk kepadaku, suamimu ini, yang telah payah dan lelah mencarimu sampai akhirnya aku menemukanmu dan menjadikanmu sebagai istri. Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya . Aku tidak mengada-ada untuk sekedar membesarkan hatimu, namun begitulah Rosululloh telah menyatakannya :

“Dunia ini tiada lain hanyalah perhiasan, dan tak ada satu pun dari perhiasan dunia ini yang lebih utama daripada seorang istri yang sholihah.” [1]

Semoga engkau mengerti ini.

Istriku, jujur kukatakan, bagiku engkau adalah sumber kebahagiaan dan penderitaanku. Engkau adalah penghias rumah tempat tinggalku dan kendaraan mewahku, dan engkau adalah sebaik-baik tetanggaku. Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya . Aku tidak mengada-ada untuk mendapat tempat di hatimu, namun begitulah Rosululloh telah mengabarkannya.

“Ada empat hal yang termasuk kebahagiaan; istri sholihah, rumah yang lapang nan luas, tetangga yang sholih dan kendaraan yang nyaman. Dan ada empat hal yang termasuk kesengsaraan; tetangga yang jelek (akhlaknya), istri yang jelek (akhlaknya), rumah yang sempit dan kendaraan yang tak nyaman.” [2]

Istriku, tahukah kau bahwa aku bisa berbahagia bersamamu dan bisa sengsara lagi menderita olehmu? Bukan aku tidak percaya kepadamu bahwa engkau akan membahagiakanku, tentunya engkau bisa memilih. Sebab, aku sudah tahu engkau adalah seorang wanita yang memiliki kecerdasan, apakah engkau akan menjadi sumber kebahagiaanku atau menjadi sumber penderitaanku? Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya, aku berbahagia bersamamu di atas keberkahan hidup bersamamu yang telah dianugerahkan kepadaku, tentunya juga kepadamu. Aku merasa bahagia meski menurut orang lain aku sengsara, aku tidak menyesali banyaknya penderitaan, namun aku sangat berharap keberkahannya. Semoga engkau mengerti ini.

Istriku, jujur kukatakan bahwa tiada sebuah rumah pun yang akan kupandang indah dan kurasa nyaman meski seluas apapun rumah itu bila aku tinggal di dalamnya tanpamu. Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya, sungguh aku bangga padamu, istriku, karena kini aku rasakan rumahku begitu teduh, tentram dan nyaman bagiku setelah engkau yang menjadi pendampingku sejak pernikahan dulu. Semoga engkau mengerti ini.

Istriku, jujur kukatakan, tiada kendaraan mewah yang nyaman aku kendarai meski apapun jenisnya dan berapa rupiah pun harganya jika engkau tidak bersamaku di atas kendaraan itu. Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya , sebab aku merasa tiada tetangga yang berdampingan denganku saat ini, baik di rumahku maupun di kendaraanku yang kurasakan kesholihannya selain dirimu. Semoga engkau mengerti ini.

Istriku, sejujurnya kukatakan, bagiku engkau adalah ukuran kebaikanku di duniaku. Semoga engkau tahu dan memahami ini. Betapa berat amanah yang telah dipikulkan di atas pundakku setelah aku menikahimu. Aku diwasiati untuk menjagamu, bahkan aku diingatkan sekali lagi dan berikutnya dan berikutnya demi kebaikanmu. Aku mengetahui hal ini bukan sekedar mengikuti perasaanku, juga bukan berdasarkan buaian mimpiku, bukan pula dari lamunan dan khayalanku. Namun aku mengerti dan paham lalu seyakin-yakinnya aku yakini dari sabda seorang manusia yang tidak didustakan kabarnya dan tidak dimaksiati perintahnya. Tahukah dirimu bahwa beliau telah menjadikan bagaimana caraku mempergaulimu dalam kebersamaan ini sebagai tanda baik buruknya akhlakku? Beliau pernah bersabda:

“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik di antara kalian ialah yang paling baik akhlaknya terhadap istrinya” [3]

Oleh karenanya, istriku, aku tidak ingin menjadi seorang yang berakhlak buruk sebab tidak bisa berbuat baik kepadamu, dan aku berharap engkau membantuku agar aku bisa memperbaiki akhlakku, (yaitu) dengan memudahkan caraku agar bisa berbuat baik kepadamu. Semoga engkau mengerti ini.

Istriku, bila engkau mendapati kebaikanku, sesungguhnya aku tidak berharap perhatianmu, aku juga tidak berharap pujianmu. Namun, aku hanya ingin semoga Alloh menjadikanmu istri yang sholihah yang berbuat baik kepadaku. Dan, bila engkau mendapatiku tidak berbuat baik kepadamu, semoga kesholihahanmu bisa membuka pintu maafmu bagiku, dan semoga Alloh Yang di atas sana memaafkan kekhilafanku.

Istriku, sebenarnya masih banyak yang ingin aku goreskan dalam lembaran ini. Namun, aku cukupkan dengan mengatakan di ujung suratku ini, bahwa pada akhirnya engkau adalah pelabuhan bahteraku yang aku akan merasa tenang setelah tadinya jiwaku diliputi kecemasan dan ketakutan akan dalam dan dahsyatnya gelombang samudra kehidupan saat masih sendiri sebelum kehadiran seorang istri, dan bagiku ialah dirimu. Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian kepada-Nya, dan semoga Dia memberkahi hari-hari kita berdua, dalam suka maupun duka.

Dari yang mencintaimu karena Alloh dan untuk Alloh , aku, suamimu.

Penulis: Al-Ustadz Abu Ammar al-Ghoyyami
Sumber artikel: majalah Al-Mawaddah

Catatan kaki:
[2] HR Ibnu Hibban no.1232 dishohihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah
[3] HR Tirmidzi no.1082, dishohihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah

Ahlan wa Sahlan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, dan semoga shalawat salam tercurah kepada Muhammad saw, para sahabat dan keluarganya, juga untuk ummatnya hingga akhir zaman

Kasih, selamat datang di rumah hatiku
Terima kasih karena telah memilihku, bersedia bersabar dengan egoku, dan memperjuangkan ikatan ini hingga ikrar diucap

Aku tak ingin memilihmu hanya karena rupamu, kecerdasanmu, kekayaanmu, kedudukanmu, sebab mereka hanya titipan yang dengan mudah diambilNya untuk menguji kita…
Aku ingin memilihmu semata karena baiknya agama dan akhlaqmu sehingga ku kan ikut menjaganya bahkan membantumu menyuburkannya sehingga ikatan ini kekal hingga firdausNya…
Dan aku berharap demikian pula halnya saat kamu memilihku

Perlu kau ketahui, Kasih, aku hanya wanita biasa yang bukan tanpa cacat cela
Punya serba kekurangan untuk Kau lengkapi
Aku berdoa semoga Kau terpelihara dari kejelekanku
dan justru mendapat banyak keberkahan dari pernikahan kita ini

Kasih, selamat menghuni kedalaman jiwaku
Rengkuh aku dalam setiap episode hidupmu, jangan pernah lepaskan tanganku, dan bersabarlah untuk tetap memelihara janji akbar ini

Mungkin ada seseorang di masa lalumu dan ada seseorang pula di masa laluku, tapi biarkanlah mereka menjadi sekedar masa lalu
Ini masanya bagi kita berdua menjejaki satu episode akselerasi menujuNya tanpa perlu terpaku lagi ke belakang; menyesali yang terjadi
Dan aku ingin masa depan akan kita cita-citakan bersama-sama

Padamu aku berpesan: perhatikanlah lisanmu, jangan dengan mudahnya kau kata ‘sesuatu’ sebab kata itu bisa menjadikanku kembali haram bagimu
Bila suatu saat ada yang tidak menyenangkan bagimu, ingatlah kembali kebaikanku dan pikirkanlah bahwa perceraian itu hal halal yang dibenciNya

Kasih, sebagai pembuka, aku ingin mengatakannya kepada seseorang bertitle suami… untuk pertama kali… Ya, sebab aku tak pernah mengatakannya kepada seorang pun selain mahramku:
Uhibbuka fillah… aku mencintaimu karena Allah…
semoga selalu fillah… sehingga cinta ini lillah, billah, ilallah…

Kisah Kupu-kupu

Kamu pernah dengar kisah kupu-kupu, Sobat? Belum? Saat seseorang hendak membantunya agar ia tak lama-lama keluar dari kepompongnya, ternyata ia tak bisa terbang dengan sempurna! Memang niat orang yang meluruskan itu benar karena ia berniat membantu kupu-kupu segera terbang. Akan tetapi, ternyata sang kupu-kupu memerlukan proses yang lama itu untuk kedewasaannya. Jika dipaksa lebih cepat, maka sayapnya justru tak bisa membawanya terbang. Sedih, bukan? Tentu saja menjadi kisah yang happy ending jika orang yang membantunya untuk terbang tadi itu tetap bersamanya. Meski tidak bisa terbang, bukankah kupu-kupu jadi memiliki teman hidup?

Dan aku khawatir kupu-kupu itu adalah dirinya: mbakku, orang yang kusayangi selama ini karena seseorang yang entah siapa itu. Atau bahkan justru akulah kupu-kupu itu?

“Kamu tuh, ya, Nduk, cepet nikah! Jangan kaya kakakmu, nunda-nunda terus,” nasihat bu e kepadaku. Aku hanya tersenyum sambil tetap memijat kakinya. Bagiku saat ini keluarga adalah orang yang paling berharga. “Kamu ngerti, Nduk?”

“Ya, bu e,” jawabku mencoba menenangkan hatinya.

“Jangan cuma iya-iya aja tho! Kenalin calonmu ma bu e,” respon bu e tak puas, “kapan bu e bisa nimang cucu kalo kalian berdua begini terus kerjaannya, hhh…”

“Belum saatnya dikenalkan, bu e,” jawabku, “catatannya masi di Lauh Mahfuzh, belum kebuka.”

“Wong aneh, kamu! Moso ga satu pun teman laki yang kamu pilih yang bisa dikenalin sekarang?”

“Tenang, bu e, jodoh ga akan kemana…”
@@@

Mbak Rara pulang dengan wajah lelah. Pantas saja kerjaannya lembur melulu sepekan ini. Aku yang pernah bahkan sering mengalaminya tentu saja mengerti bebannya. Kusodorkan segelas air putih ke hadapannya.

“Syukran, De,” ucapnya kemudian meminum air itu salam beberapa teguk, “alhamdulillah… segarnya. Emang bangga punya ade kaya Ayu. Udah cantik, baik hati pula, juga rajin menabung, hehehe.”

“Huu, merayu!”

Respon mbak Rara hanya tawa ringan. Dia kembali berkutat di depan laptopnya dengan sebuah kacamata osilosoft untuk mencegah radiasi terpapar ke mata. Namun, melihatku yang tak jua beranjak, dia kembali menoleh. “Odo opo ora ne?”

Aku hanya menggeleng. Meski aku tahu mbak Rara adalah orang yang kuat, tetapi pertanyaan yang mengganjal di hati ini mungkin tema sensitif untuknya, “Kapan mbak mau menikah?” Maka, kuurungkan niatku bertanya.

“Yo wis, sana gih! Cepet tidur!” perintah mbak lagi. Mungkin dia tak tega melihatku tetap menemaninya.

Aku dan mbak Rara berselisih dua tahun. Tahun ini usiaku 26, berarti usia mbak Rara tentu saja sudah hampir di batas usia perawan muda. Aku paham mbak Rara menyenangi pekerjaannya saat ini, aku juga paham mbak Rara terlalu sibuk untuk banyak mendengarkan celotehan bu e. Aku paham… Namun, satu yang tidak kupahami, bahkan aku sungguh tidak tahu apa yang ada di hatinya saat disinggung-singgung masalah munakahat.

“Bu e, percaya deh sama Allah… Rara akan menikah kalau memang orang yang Allah takdirkan datang,” yakin mbak Rara suatu hari. Aku bertanya dalam hati, “Sudahkah ada sang dia? Atau, mbak Rara hanya menolak satu demi satu karena tidak sesuai dengan kriteria?” Belakangan aku tahu bahwa mbak Rara pernah menolak sekali, tetapi kemudian berikut-berikutnya tak lagi ada yang maju. Satu per satu mundur teratur karena minder. “Wong akhi pertama yang udah begitu high ditolak, palagi berikut-berikutnya,” mungkin begitu pikir mereka.

“Ya udah, Mbak, Ayu tidur duluan. Jangan lupa rehat, ya!” ucapku kemudian pamit ke kamar sendiri. Mbak Rara tersenyum, senyum yang begitu tulus dan manis. Mengapa tak seorang pun yang mencoba untuk maju? Apakah mereka semua hanyalah pengecut? Ya, benar, belum ada seseorang lain yang berani ditolak. Oleh karena itu, pengecut memang tak berhak memiliki mbak Rara!
@@@

“Yu, kapan mau nikah?” tanya mas Bambang kepadaku melalui telepon.

“Kapan, ya? Kapan-kapan, Mas,” jawabku sekenanya, “emang Mas Bambang kapan?”

“Kalau kamu udah siap, Yu.”

“Lho, emang mas Bambang sebenarnya nunggu sopo? Moso nunggu aku?”

Tiada jawaban di seberang untuk beberapa saat. “Ya ga enak aja gitu lho kalo aku ngedahuluin kamu.”

“Wew, emang aku ini mbakmu, Mas, runghal aja. Aku ridho kok.”

Aku memang tipe yang sulit memulai serius pembicaraan. Kalau dia yang menjadi lawan bicaraku tak pernah serius, maka aku pun akan bercanda sampai akhir pembicaraan kami. Selalu seperti itu. Aku pun tak tahu kapan kebiasaan burukku ini menghilang. Aku hanya mulai tersadar apakah aku, bahkan mbakku, juga sebenarnya adalah sosok pengecut itu?

“Ok, Yu, ditunggu kabar baiknya, ya…”

“Mas dulu yang kutunggu…”

Satu jam lebih kami berbicara melalui telepon. Sampai telingaku terasa panas. Sepertinya interaksi ini membuat kami merasa terlalu nyaman mengobrol padahal jam sudah menunjukkan pukul 23 tepat. Masih kuingat idealisku di masa kuliah bahwa jika tidak ada urusan yang sangat mendesak, haram ikhwan akhwat berinteraksi di atas jam 9 malam. Namun, kini aku melupakannya atau benar-benar lupa atau pura-pura lupa. Aku biarkan saja idealis itu hanya sebuah kiasan masa lampau.
@@@

Kudengar bisik-bisik rintihan di balik pintu kamar mbak Rara, begitu menekan jiwa yang mendengar. Dadaku pun ikut terasa sesak. Doa dalam Qiyamullailnya itu membuat isak yang dalam menghujam ke dasar sanubari. Saat telingaku mendengar rintihan itu, air mataku berhamburan begitu boros. “Ah, mbak…”

Kulangkahkan kakiku untuk mengambil air wudhu. Dinginnya air ditemani semilir angin malam benar-benar terasa menggigit kulit, tetapi aku menikmatinya. Aku berharap dari semua indra ini, meneteslah dosa-dosa bersama tetesan air wudhu, terutama dosa-dosa zina kecil yang tak terasa di usia-usia rawan sepertiku.

Rabb, sebenarnya Engkau lebih tahu bahwa diriku pun telah sangat merindukan sakinah itu…
Siapakah dia yang kan kutemui di ujung penantian yang seakan tak bertepi ini?
Pertemukanlah kami, Rabb, pada masa yang terbaik
dan biarkan kami berhimpun
karenaMu

aamiiin…