Kisah Kupu-kupu

Kamu pernah dengar kisah kupu-kupu, Sobat? Belum? Saat seseorang hendak membantunya agar ia tak lama-lama keluar dari kepompongnya, ternyata ia tak bisa terbang dengan sempurna! Memang niat orang yang meluruskan itu benar karena ia berniat membantu kupu-kupu segera terbang. Akan tetapi, ternyata sang kupu-kupu memerlukan proses yang lama itu untuk kedewasaannya. Jika dipaksa lebih cepat, maka sayapnya justru tak bisa membawanya terbang. Sedih, bukan? Tentu saja menjadi kisah yang happy ending jika orang yang membantunya untuk terbang tadi itu tetap bersamanya. Meski tidak bisa terbang, bukankah kupu-kupu jadi memiliki teman hidup?

Dan aku khawatir kupu-kupu itu adalah dirinya: mbakku, orang yang kusayangi selama ini karena seseorang yang entah siapa itu. Atau bahkan justru akulah kupu-kupu itu?

“Kamu tuh, ya, Nduk, cepet nikah! Jangan kaya kakakmu, nunda-nunda terus,” nasihat bu e kepadaku. Aku hanya tersenyum sambil tetap memijat kakinya. Bagiku saat ini keluarga adalah orang yang paling berharga. “Kamu ngerti, Nduk?”

“Ya, bu e,” jawabku mencoba menenangkan hatinya.

“Jangan cuma iya-iya aja tho! Kenalin calonmu ma bu e,” respon bu e tak puas, “kapan bu e bisa nimang cucu kalo kalian berdua begini terus kerjaannya, hhh…”

“Belum saatnya dikenalkan, bu e,” jawabku, “catatannya masi di Lauh Mahfuzh, belum kebuka.”

“Wong aneh, kamu! Moso ga satu pun teman laki yang kamu pilih yang bisa dikenalin sekarang?”

“Tenang, bu e, jodoh ga akan kemana…”
@@@

Mbak Rara pulang dengan wajah lelah. Pantas saja kerjaannya lembur melulu sepekan ini. Aku yang pernah bahkan sering mengalaminya tentu saja mengerti bebannya. Kusodorkan segelas air putih ke hadapannya.

“Syukran, De,” ucapnya kemudian meminum air itu salam beberapa teguk, “alhamdulillah… segarnya. Emang bangga punya ade kaya Ayu. Udah cantik, baik hati pula, juga rajin menabung, hehehe.”

“Huu, merayu!”

Respon mbak Rara hanya tawa ringan. Dia kembali berkutat di depan laptopnya dengan sebuah kacamata osilosoft untuk mencegah radiasi terpapar ke mata. Namun, melihatku yang tak jua beranjak, dia kembali menoleh. “Odo opo ora ne?”

Aku hanya menggeleng. Meski aku tahu mbak Rara adalah orang yang kuat, tetapi pertanyaan yang mengganjal di hati ini mungkin tema sensitif untuknya, “Kapan mbak mau menikah?” Maka, kuurungkan niatku bertanya.

“Yo wis, sana gih! Cepet tidur!” perintah mbak lagi. Mungkin dia tak tega melihatku tetap menemaninya.

Aku dan mbak Rara berselisih dua tahun. Tahun ini usiaku 26, berarti usia mbak Rara tentu saja sudah hampir di batas usia perawan muda. Aku paham mbak Rara menyenangi pekerjaannya saat ini, aku juga paham mbak Rara terlalu sibuk untuk banyak mendengarkan celotehan bu e. Aku paham… Namun, satu yang tidak kupahami, bahkan aku sungguh tidak tahu apa yang ada di hatinya saat disinggung-singgung masalah munakahat.

“Bu e, percaya deh sama Allah… Rara akan menikah kalau memang orang yang Allah takdirkan datang,” yakin mbak Rara suatu hari. Aku bertanya dalam hati, “Sudahkah ada sang dia? Atau, mbak Rara hanya menolak satu demi satu karena tidak sesuai dengan kriteria?” Belakangan aku tahu bahwa mbak Rara pernah menolak sekali, tetapi kemudian berikut-berikutnya tak lagi ada yang maju. Satu per satu mundur teratur karena minder. “Wong akhi pertama yang udah begitu high ditolak, palagi berikut-berikutnya,” mungkin begitu pikir mereka.

“Ya udah, Mbak, Ayu tidur duluan. Jangan lupa rehat, ya!” ucapku kemudian pamit ke kamar sendiri. Mbak Rara tersenyum, senyum yang begitu tulus dan manis. Mengapa tak seorang pun yang mencoba untuk maju? Apakah mereka semua hanyalah pengecut? Ya, benar, belum ada seseorang lain yang berani ditolak. Oleh karena itu, pengecut memang tak berhak memiliki mbak Rara!
@@@

“Yu, kapan mau nikah?” tanya mas Bambang kepadaku melalui telepon.

“Kapan, ya? Kapan-kapan, Mas,” jawabku sekenanya, “emang Mas Bambang kapan?”

“Kalau kamu udah siap, Yu.”

“Lho, emang mas Bambang sebenarnya nunggu sopo? Moso nunggu aku?”

Tiada jawaban di seberang untuk beberapa saat. “Ya ga enak aja gitu lho kalo aku ngedahuluin kamu.”

“Wew, emang aku ini mbakmu, Mas, runghal aja. Aku ridho kok.”

Aku memang tipe yang sulit memulai serius pembicaraan. Kalau dia yang menjadi lawan bicaraku tak pernah serius, maka aku pun akan bercanda sampai akhir pembicaraan kami. Selalu seperti itu. Aku pun tak tahu kapan kebiasaan burukku ini menghilang. Aku hanya mulai tersadar apakah aku, bahkan mbakku, juga sebenarnya adalah sosok pengecut itu?

“Ok, Yu, ditunggu kabar baiknya, ya…”

“Mas dulu yang kutunggu…”

Satu jam lebih kami berbicara melalui telepon. Sampai telingaku terasa panas. Sepertinya interaksi ini membuat kami merasa terlalu nyaman mengobrol padahal jam sudah menunjukkan pukul 23 tepat. Masih kuingat idealisku di masa kuliah bahwa jika tidak ada urusan yang sangat mendesak, haram ikhwan akhwat berinteraksi di atas jam 9 malam. Namun, kini aku melupakannya atau benar-benar lupa atau pura-pura lupa. Aku biarkan saja idealis itu hanya sebuah kiasan masa lampau.
@@@

Kudengar bisik-bisik rintihan di balik pintu kamar mbak Rara, begitu menekan jiwa yang mendengar. Dadaku pun ikut terasa sesak. Doa dalam Qiyamullailnya itu membuat isak yang dalam menghujam ke dasar sanubari. Saat telingaku mendengar rintihan itu, air mataku berhamburan begitu boros. “Ah, mbak…”

Kulangkahkan kakiku untuk mengambil air wudhu. Dinginnya air ditemani semilir angin malam benar-benar terasa menggigit kulit, tetapi aku menikmatinya. Aku berharap dari semua indra ini, meneteslah dosa-dosa bersama tetesan air wudhu, terutama dosa-dosa zina kecil yang tak terasa di usia-usia rawan sepertiku.

Rabb, sebenarnya Engkau lebih tahu bahwa diriku pun telah sangat merindukan sakinah itu…
Siapakah dia yang kan kutemui di ujung penantian yang seakan tak bertepi ini?
Pertemukanlah kami, Rabb, pada masa yang terbaik
dan biarkan kami berhimpun
karenaMu

aamiiin…

Leave a comment