Membangun Cinta

Episode Melangkah
Jangan terburu-buru menyimpulkan ia cinta karena cinta mengenal dua harapan: kebaikan untukmu dan kebaikan untuknya. Mungkinkah ia dinamakan cinta jika pada akhirnya hanya membinasakan salah satunya? Ataukah ia cinta semu yang sebenarnya hanya mendesak jiwa melupakan prinsip hidupnya? Ah, pantas saja kalau mengalaminya dinamakan jatuh cinta; bukan bangun cinta. Bukan masalah sakit dan bahagianya, melainkan masalah apakah dia akan membuat sang pecinta mulia atau terhina?

Maka, dengan taufiqNya aku memutuskan untuk membangun cinta: memperjuangkan rasa ini ke jenjang pernikahan. Dengan bantuan perantara, aku mencoba memilihmu untuk menemani hidupku. Aku tak tahu bagaimana ekspresimu saat pertama kali mendengar niatku dari sang perantara, tetapi aku yakin kamu sempat terkaget-kaget dengan sikapku. Aku ingin menjadi Khadijah meskipun ini pertama kali bagiku untuk melangkah. Ya, kamulah yang pertama dan insya Allah yang terakhir jika kamu terima usulku untuk melamarku.

Jadilah imamku dan izinkan aku menjadi jundi di belakangmu
lengkapilah hidupku dan perkenan aku melengkapi bagian dari hidupmu
bantulah aku menjadi lebih baik dan biarkan aku untuk membantumu menjadi lebih baik

Aku akan meniru ucapan Bilal saat melamar seorang wanita untuk saudaranya, “Jika diterima akan kuucap Alhamdulillah; jika tidak akan kuucap Allahu Akbar!”

Aku memang pernah berani menamakan rasa ini dengan cinta, tetapi jika kamu tak menyambutnya dengan sebuah khitbah pun tak mengapa. Aku memilih untuk mempercayaiNya di atas segalanya, sedangkan bagiku cinta lain bisa ditumbuhkan dan kali ini untuk seseorang yang Dia pilihkan untukku. Aku telah bersiap mendengar jawaban penolakanmu sepenuh hati. Akan tetapi, kamu memilih jawaban sebaliknya: menerima usulku. Tiba-tiba ada serba rasa lain yang menyeruak dari dasar hatiku: senang, cemas, takut, bingung, dan seribu rasa lain yang tak kumengerti.

Nikah adalah ibadah dan waswas syaithan mengganggu hendaknya ibadah itu bagiku. Padahal aku yang berinisiatif, tapi mengapa setelah ini aku menjadi takut. Aku merasa belum siap. Aku takut kamu terlalu ideal menilaiku padahal apalah aku ini? Atau malah aku yang sebenarnya mungkin tak mampu menerima semua kelebihan dan kekuranganmu? Nyaris saja kubuat proses ini gagal jika aku tak memohon kepadaNya untuk meneguhkan azam untuk melangkah. Sementara itu, aku tak pernah mendengar keraguan dari lisanmu. Bahkan, aku tak menyangka kamu bersemangat mempercepatnya. Ah, ijab itu telah semakin dekatkah?
@@@

Episode Kesunyian
Lagi-lagi sebuah sms yang menggoncangkan hati. Rindu telah mengetuk-ngetuk pintu hati ini untuk kembali pada pertemuan itu: pertemuan untuk berhimpun dan berjuang di jalan cinta. Setelah sekian lama aku menunggu panggilan itu kembali, akhirnya… akhirnya… Rabbi, Engkau lebih tahu reaksi hati ini saat membacanya. Maka, izinkanku kembali dengan sungguh-sungguh dan juga bertahan dengan sungguh-sungguh.

Aku akan meminta izinmu terlebih dulu, bahkan aku berharap kamu bisa hadir mendampingiku. Akan tetapi, aku tak menyangka kau bertanya dengan gusar apakah aku lebih mencintaimu atau lebih mencintai aktivitasku. Jangan kamu tanyakan seberapa besar cintaku kepada jalan ini! Entah berapa banyak air mata yang tumpah dan peluh yang jatuh untuk membayar cinta ini. Oleh karenanya, saat aku hampir kehilangan kesempatanku untuk kembali berjuang di dalamnya, kuteteskan air mata berkali-kali karena tak rela. Kumohon jangan renggut kebebasanku dalam menikmati perjalanan ini. Kamu tidak boleh memintaku lebih mencintaimu daripada berjuang di jalanNya karena itu terlalu sulit!

Melihat air mataku, akhirnya kekerashatianmu luluh. Syukur kupanjatkan karena akhirnya kamu mengizinkanku jika aku bisa segera pulang. Sebenarnya aku sedikit kecewa karena aku tak mendapati jasadmu pada agenda besok; aku hanya mendapatkan izinmu. Padahal jika saja kamu tahu, harapku saat memilihmu dulu: aku ingin pergi ke agenda sejenis ini bersama-sama dengan suami dan anak.

Tidak mengapa. Baiklah, aku mencoba mengerti bahwa kamu tengah sibuk dengan urusan kerjamu. Aku paham dan mengikhlaskan kamu sibuk dengannya meski jujur tetap ada sebersit cemburu di hatiku karena kau lebih memilih pekerjaanmu. Kan pada akhirnya hasil kerjamu untuk hidup kita, bukan? Hanya saja, mengapa kamu tak tanya perasaanku saat kau tak bisa ikut denganku? Ah, aku terlalu banyak berharap. Baiklah, lupakan kemanjaanku karena waktuku saat ini adalah pergi ke medan!

Namun, aku tak bisa memungkiri rasa iri di hati ketika melihat pasangan-pasangan itu hadir bahkan disertai buah hati mereka. Sementara itu, aku yang sebenarnya sudah memilikimu sama kesepiannya (atau bahkan lebih kesepian) dengan akhwat lain yang masih lajang. Bolehkah aku berharap suatu saat kita pergi ke agenda sejenis ini berdua, bahkan dengan anak-anak kita kelak? Yaya, insya Allah aku yakin kamu mau. Masakah kamu tidak mau menyenangkan hati istrimu? Aku terus-menerus berharap dalam hati. Semoga, ya, semoga saja.
@@@

Episode Romansa
Aku tersenyum senang melihat ekspresi khawatirmu. Bukan karena aku sebegitu tega, tetapi aku sudah lama tidak melihat ekspresimu seperti hari ini. Bahkan, kamu berjanji takkan meninggalkanku sendiri lagi. Benarkah itu?? Allahu Akbar! Ternyata kehadiran janin dalam rahimku membawa berkah karena telah meluluhkan hatimu.

“Hamil??” tanyamu kemudian bersujud syukur. Alhamdulillah penantian kita selama ini terjawab, bukan? Bukan karena aku terlalu letih maka kita terlambat memiliki buah hati, bukan… melainkan karena interaksiku denganNya kurang di malam-malam sunyi. Dan kali ini doa kita dijawabNya. Oleh karena itu, aku mohon kepadamu, Kasih: pegang janjimu!
@@@

Episode Air Mata
“Ummi!” pekikan Azka sempat terdengar di sela-sela ketidaksadaranku.

Aku tidak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri. Yang kurasakan hanya kepalaku berat saat sadarkan diri. “Abi sudah pulang?” tanyaku kepada kedua anakku, tetapi jawaban mereka hanya gelengan, “jangan bilang abi soal tadi ummi jatuh, ya… ummi hanya kelelahan,” jelasku dan kali ini mereka mengangguk. Kupandangi mereka yang akhir-akhir ini sering kehilangan sosok abinya. Kurangkul mereka; kurasa bukan hanya aku yang kesepian. Dalam hati aku menangis dan berusaha mengatakan, “aku mencintai kalian, anak-anakku…”

Ingin kukatakan padamu agar tidak salah dalam memandang kedudukan dan berhati-hati saat ada arus: jangan ikut hanyut. Coba kaulihat di dalam sana ada apa. Sebongkah pualam telah menjelma logam menghitam. Yang kuherankan, mengapa kamu tak jua sadar? Bahasa sederhana apa lagikah yang dapat membuka mata? Sementara itu air raksa pun tak bisa memecahkannya… kau tahu? Aku lelah menghadapimu!

Malam itu aku mencoba bicara baik-baik denganmu. Kubuka dengan hangat mungkin lebih dari biasanya, kuharap kamu mau mengerti. Aku ingin kita berwirausaha tanpa melibatkan pihak mereka: memulai kembali semuanya dari nol. Akan tetapi, tak kusangka kamu begitu marah saat mendengar ide gilaku. Bahkan, beberapa malam setelah itu aku merasa kamu tak lagi melihatku sebagai istri: kamu pergi kemana tanpa memberi tahuku?? Padahal, jika saja kamu tahu… Ah, tapi benarkah firasatku bahwa kebersamaan kita hanya tinggal beberapa saat lagi?

Dalam kelelahan dan kelemahanku, aku hanya bisa mengadu dan berpasrah kepadaNya. Dengan kekuatan darinya di malam yang sangat sepi, saat anak-anak telah tertidur, kutulis sepucuk surat yang kuharap bisa kamu baca. Whatever happened next, I’ll always love you. Aku akan tetap mencintaimu dengan caraku; kuharap kamu pun demikian halnya; cintailah anak-anak kita juga. Kuharap mereka mendapatkan pengganti yang lebih baik dari sisiNya saat orang tuanya sedang tak ada di sisi mereka.
[end]

Epilog:
Sudah 20 tahun lebih sang suami menduda dan saat ia ditanyakan mengapa tidak menikah lagi (apakah karena anak2 tidak mengizinkan), ia menjawab, “Bukan karena anak2 tidak mengizinkan, bahkan mereka sangat mendukung, tapi karena saya merasa tak bisa menemukan istri sepertinya. Ia selalu mengajak kepada kebaikan saat yang lain mengizinkan saya untuk sesekali berbuat kelalaian. Saya belum bisa membuka hati untuk mencintai yang lain dan khawatir malah menzhaliminya.”

Leave a comment