Membangun Cinta

Episode Melangkah
Jangan terburu-buru menyimpulkan ia cinta karena cinta mengenal dua harapan: kebaikan untukmu dan kebaikan untuknya. Mungkinkah ia dinamakan cinta jika pada akhirnya hanya membinasakan salah satunya? Ataukah ia cinta semu yang sebenarnya hanya mendesak jiwa melupakan prinsip hidupnya? Ah, pantas saja kalau mengalaminya dinamakan jatuh cinta; bukan bangun cinta. Bukan masalah sakit dan bahagianya, melainkan masalah apakah dia akan membuat sang pecinta mulia atau terhina?

Maka, dengan taufiqNya aku memutuskan untuk membangun cinta: memperjuangkan rasa ini ke jenjang pernikahan. Dengan bantuan perantara, aku mencoba memilihmu untuk menemani hidupku. Aku tak tahu bagaimana ekspresimu saat pertama kali mendengar niatku dari sang perantara, tetapi aku yakin kamu sempat terkaget-kaget dengan sikapku. Aku ingin menjadi Khadijah meskipun ini pertama kali bagiku untuk melangkah. Ya, kamulah yang pertama dan insya Allah yang terakhir jika kamu terima usulku untuk melamarku.

Jadilah imamku dan izinkan aku menjadi jundi di belakangmu
lengkapilah hidupku dan perkenan aku melengkapi bagian dari hidupmu
bantulah aku menjadi lebih baik dan biarkan aku untuk membantumu menjadi lebih baik

Aku akan meniru ucapan Bilal saat melamar seorang wanita untuk saudaranya, “Jika diterima akan kuucap Alhamdulillah; jika tidak akan kuucap Allahu Akbar!”

Aku memang pernah berani menamakan rasa ini dengan cinta, tetapi jika kamu tak menyambutnya dengan sebuah khitbah pun tak mengapa. Aku memilih untuk mempercayaiNya di atas segalanya, sedangkan bagiku cinta lain bisa ditumbuhkan dan kali ini untuk seseorang yang Dia pilihkan untukku. Aku telah bersiap mendengar jawaban penolakanmu sepenuh hati. Akan tetapi, kamu memilih jawaban sebaliknya: menerima usulku. Tiba-tiba ada serba rasa lain yang menyeruak dari dasar hatiku: senang, cemas, takut, bingung, dan seribu rasa lain yang tak kumengerti.

Nikah adalah ibadah dan waswas syaithan mengganggu hendaknya ibadah itu bagiku. Padahal aku yang berinisiatif, tapi mengapa setelah ini aku menjadi takut. Aku merasa belum siap. Aku takut kamu terlalu ideal menilaiku padahal apalah aku ini? Atau malah aku yang sebenarnya mungkin tak mampu menerima semua kelebihan dan kekuranganmu? Nyaris saja kubuat proses ini gagal jika aku tak memohon kepadaNya untuk meneguhkan azam untuk melangkah. Sementara itu, aku tak pernah mendengar keraguan dari lisanmu. Bahkan, aku tak menyangka kamu bersemangat mempercepatnya. Ah, ijab itu telah semakin dekatkah?
@@@

Episode Kesunyian
Lagi-lagi sebuah sms yang menggoncangkan hati. Rindu telah mengetuk-ngetuk pintu hati ini untuk kembali pada pertemuan itu: pertemuan untuk berhimpun dan berjuang di jalan cinta. Setelah sekian lama aku menunggu panggilan itu kembali, akhirnya… akhirnya… Rabbi, Engkau lebih tahu reaksi hati ini saat membacanya. Maka, izinkanku kembali dengan sungguh-sungguh dan juga bertahan dengan sungguh-sungguh.

Aku akan meminta izinmu terlebih dulu, bahkan aku berharap kamu bisa hadir mendampingiku. Akan tetapi, aku tak menyangka kau bertanya dengan gusar apakah aku lebih mencintaimu atau lebih mencintai aktivitasku. Jangan kamu tanyakan seberapa besar cintaku kepada jalan ini! Entah berapa banyak air mata yang tumpah dan peluh yang jatuh untuk membayar cinta ini. Oleh karenanya, saat aku hampir kehilangan kesempatanku untuk kembali berjuang di dalamnya, kuteteskan air mata berkali-kali karena tak rela. Kumohon jangan renggut kebebasanku dalam menikmati perjalanan ini. Kamu tidak boleh memintaku lebih mencintaimu daripada berjuang di jalanNya karena itu terlalu sulit!

Melihat air mataku, akhirnya kekerashatianmu luluh. Syukur kupanjatkan karena akhirnya kamu mengizinkanku jika aku bisa segera pulang. Sebenarnya aku sedikit kecewa karena aku tak mendapati jasadmu pada agenda besok; aku hanya mendapatkan izinmu. Padahal jika saja kamu tahu, harapku saat memilihmu dulu: aku ingin pergi ke agenda sejenis ini bersama-sama dengan suami dan anak.

Tidak mengapa. Baiklah, aku mencoba mengerti bahwa kamu tengah sibuk dengan urusan kerjamu. Aku paham dan mengikhlaskan kamu sibuk dengannya meski jujur tetap ada sebersit cemburu di hatiku karena kau lebih memilih pekerjaanmu. Kan pada akhirnya hasil kerjamu untuk hidup kita, bukan? Hanya saja, mengapa kamu tak tanya perasaanku saat kau tak bisa ikut denganku? Ah, aku terlalu banyak berharap. Baiklah, lupakan kemanjaanku karena waktuku saat ini adalah pergi ke medan!

Namun, aku tak bisa memungkiri rasa iri di hati ketika melihat pasangan-pasangan itu hadir bahkan disertai buah hati mereka. Sementara itu, aku yang sebenarnya sudah memilikimu sama kesepiannya (atau bahkan lebih kesepian) dengan akhwat lain yang masih lajang. Bolehkah aku berharap suatu saat kita pergi ke agenda sejenis ini berdua, bahkan dengan anak-anak kita kelak? Yaya, insya Allah aku yakin kamu mau. Masakah kamu tidak mau menyenangkan hati istrimu? Aku terus-menerus berharap dalam hati. Semoga, ya, semoga saja.
@@@

Episode Romansa
Aku tersenyum senang melihat ekspresi khawatirmu. Bukan karena aku sebegitu tega, tetapi aku sudah lama tidak melihat ekspresimu seperti hari ini. Bahkan, kamu berjanji takkan meninggalkanku sendiri lagi. Benarkah itu?? Allahu Akbar! Ternyata kehadiran janin dalam rahimku membawa berkah karena telah meluluhkan hatimu.

“Hamil??” tanyamu kemudian bersujud syukur. Alhamdulillah penantian kita selama ini terjawab, bukan? Bukan karena aku terlalu letih maka kita terlambat memiliki buah hati, bukan… melainkan karena interaksiku denganNya kurang di malam-malam sunyi. Dan kali ini doa kita dijawabNya. Oleh karena itu, aku mohon kepadamu, Kasih: pegang janjimu!
@@@

Episode Air Mata
“Ummi!” pekikan Azka sempat terdengar di sela-sela ketidaksadaranku.

Aku tidak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri. Yang kurasakan hanya kepalaku berat saat sadarkan diri. “Abi sudah pulang?” tanyaku kepada kedua anakku, tetapi jawaban mereka hanya gelengan, “jangan bilang abi soal tadi ummi jatuh, ya… ummi hanya kelelahan,” jelasku dan kali ini mereka mengangguk. Kupandangi mereka yang akhir-akhir ini sering kehilangan sosok abinya. Kurangkul mereka; kurasa bukan hanya aku yang kesepian. Dalam hati aku menangis dan berusaha mengatakan, “aku mencintai kalian, anak-anakku…”

Ingin kukatakan padamu agar tidak salah dalam memandang kedudukan dan berhati-hati saat ada arus: jangan ikut hanyut. Coba kaulihat di dalam sana ada apa. Sebongkah pualam telah menjelma logam menghitam. Yang kuherankan, mengapa kamu tak jua sadar? Bahasa sederhana apa lagikah yang dapat membuka mata? Sementara itu air raksa pun tak bisa memecahkannya… kau tahu? Aku lelah menghadapimu!

Malam itu aku mencoba bicara baik-baik denganmu. Kubuka dengan hangat mungkin lebih dari biasanya, kuharap kamu mau mengerti. Aku ingin kita berwirausaha tanpa melibatkan pihak mereka: memulai kembali semuanya dari nol. Akan tetapi, tak kusangka kamu begitu marah saat mendengar ide gilaku. Bahkan, beberapa malam setelah itu aku merasa kamu tak lagi melihatku sebagai istri: kamu pergi kemana tanpa memberi tahuku?? Padahal, jika saja kamu tahu… Ah, tapi benarkah firasatku bahwa kebersamaan kita hanya tinggal beberapa saat lagi?

Dalam kelelahan dan kelemahanku, aku hanya bisa mengadu dan berpasrah kepadaNya. Dengan kekuatan darinya di malam yang sangat sepi, saat anak-anak telah tertidur, kutulis sepucuk surat yang kuharap bisa kamu baca. Whatever happened next, I’ll always love you. Aku akan tetap mencintaimu dengan caraku; kuharap kamu pun demikian halnya; cintailah anak-anak kita juga. Kuharap mereka mendapatkan pengganti yang lebih baik dari sisiNya saat orang tuanya sedang tak ada di sisi mereka.
[end]

Epilog:
Sudah 20 tahun lebih sang suami menduda dan saat ia ditanyakan mengapa tidak menikah lagi (apakah karena anak2 tidak mengizinkan), ia menjawab, “Bukan karena anak2 tidak mengizinkan, bahkan mereka sangat mendukung, tapi karena saya merasa tak bisa menemukan istri sepertinya. Ia selalu mengajak kepada kebaikan saat yang lain mengizinkan saya untuk sesekali berbuat kelalaian. Saya belum bisa membuka hati untuk mencintai yang lain dan khawatir malah menzhaliminya.”

Kisah Kupu-kupu

Kamu pernah dengar kisah kupu-kupu, Sobat? Belum? Saat seseorang hendak membantunya agar ia tak lama-lama keluar dari kepompongnya, ternyata ia tak bisa terbang dengan sempurna! Memang niat orang yang meluruskan itu benar karena ia berniat membantu kupu-kupu segera terbang. Akan tetapi, ternyata sang kupu-kupu memerlukan proses yang lama itu untuk kedewasaannya. Jika dipaksa lebih cepat, maka sayapnya justru tak bisa membawanya terbang. Sedih, bukan? Tentu saja menjadi kisah yang happy ending jika orang yang membantunya untuk terbang tadi itu tetap bersamanya. Meski tidak bisa terbang, bukankah kupu-kupu jadi memiliki teman hidup?

Dan aku khawatir kupu-kupu itu adalah dirinya: mbakku, orang yang kusayangi selama ini karena seseorang yang entah siapa itu. Atau bahkan justru akulah kupu-kupu itu?

“Kamu tuh, ya, Nduk, cepet nikah! Jangan kaya kakakmu, nunda-nunda terus,” nasihat bu e kepadaku. Aku hanya tersenyum sambil tetap memijat kakinya. Bagiku saat ini keluarga adalah orang yang paling berharga. “Kamu ngerti, Nduk?”

“Ya, bu e,” jawabku mencoba menenangkan hatinya.

“Jangan cuma iya-iya aja tho! Kenalin calonmu ma bu e,” respon bu e tak puas, “kapan bu e bisa nimang cucu kalo kalian berdua begini terus kerjaannya, hhh…”

“Belum saatnya dikenalkan, bu e,” jawabku, “catatannya masi di Lauh Mahfuzh, belum kebuka.”

“Wong aneh, kamu! Moso ga satu pun teman laki yang kamu pilih yang bisa dikenalin sekarang?”

“Tenang, bu e, jodoh ga akan kemana…”
@@@

Mbak Rara pulang dengan wajah lelah. Pantas saja kerjaannya lembur melulu sepekan ini. Aku yang pernah bahkan sering mengalaminya tentu saja mengerti bebannya. Kusodorkan segelas air putih ke hadapannya.

“Syukran, De,” ucapnya kemudian meminum air itu salam beberapa teguk, “alhamdulillah… segarnya. Emang bangga punya ade kaya Ayu. Udah cantik, baik hati pula, juga rajin menabung, hehehe.”

“Huu, merayu!”

Respon mbak Rara hanya tawa ringan. Dia kembali berkutat di depan laptopnya dengan sebuah kacamata osilosoft untuk mencegah radiasi terpapar ke mata. Namun, melihatku yang tak jua beranjak, dia kembali menoleh. “Odo opo ora ne?”

Aku hanya menggeleng. Meski aku tahu mbak Rara adalah orang yang kuat, tetapi pertanyaan yang mengganjal di hati ini mungkin tema sensitif untuknya, “Kapan mbak mau menikah?” Maka, kuurungkan niatku bertanya.

“Yo wis, sana gih! Cepet tidur!” perintah mbak lagi. Mungkin dia tak tega melihatku tetap menemaninya.

Aku dan mbak Rara berselisih dua tahun. Tahun ini usiaku 26, berarti usia mbak Rara tentu saja sudah hampir di batas usia perawan muda. Aku paham mbak Rara menyenangi pekerjaannya saat ini, aku juga paham mbak Rara terlalu sibuk untuk banyak mendengarkan celotehan bu e. Aku paham… Namun, satu yang tidak kupahami, bahkan aku sungguh tidak tahu apa yang ada di hatinya saat disinggung-singgung masalah munakahat.

“Bu e, percaya deh sama Allah… Rara akan menikah kalau memang orang yang Allah takdirkan datang,” yakin mbak Rara suatu hari. Aku bertanya dalam hati, “Sudahkah ada sang dia? Atau, mbak Rara hanya menolak satu demi satu karena tidak sesuai dengan kriteria?” Belakangan aku tahu bahwa mbak Rara pernah menolak sekali, tetapi kemudian berikut-berikutnya tak lagi ada yang maju. Satu per satu mundur teratur karena minder. “Wong akhi pertama yang udah begitu high ditolak, palagi berikut-berikutnya,” mungkin begitu pikir mereka.

“Ya udah, Mbak, Ayu tidur duluan. Jangan lupa rehat, ya!” ucapku kemudian pamit ke kamar sendiri. Mbak Rara tersenyum, senyum yang begitu tulus dan manis. Mengapa tak seorang pun yang mencoba untuk maju? Apakah mereka semua hanyalah pengecut? Ya, benar, belum ada seseorang lain yang berani ditolak. Oleh karena itu, pengecut memang tak berhak memiliki mbak Rara!
@@@

“Yu, kapan mau nikah?” tanya mas Bambang kepadaku melalui telepon.

“Kapan, ya? Kapan-kapan, Mas,” jawabku sekenanya, “emang Mas Bambang kapan?”

“Kalau kamu udah siap, Yu.”

“Lho, emang mas Bambang sebenarnya nunggu sopo? Moso nunggu aku?”

Tiada jawaban di seberang untuk beberapa saat. “Ya ga enak aja gitu lho kalo aku ngedahuluin kamu.”

“Wew, emang aku ini mbakmu, Mas, runghal aja. Aku ridho kok.”

Aku memang tipe yang sulit memulai serius pembicaraan. Kalau dia yang menjadi lawan bicaraku tak pernah serius, maka aku pun akan bercanda sampai akhir pembicaraan kami. Selalu seperti itu. Aku pun tak tahu kapan kebiasaan burukku ini menghilang. Aku hanya mulai tersadar apakah aku, bahkan mbakku, juga sebenarnya adalah sosok pengecut itu?

“Ok, Yu, ditunggu kabar baiknya, ya…”

“Mas dulu yang kutunggu…”

Satu jam lebih kami berbicara melalui telepon. Sampai telingaku terasa panas. Sepertinya interaksi ini membuat kami merasa terlalu nyaman mengobrol padahal jam sudah menunjukkan pukul 23 tepat. Masih kuingat idealisku di masa kuliah bahwa jika tidak ada urusan yang sangat mendesak, haram ikhwan akhwat berinteraksi di atas jam 9 malam. Namun, kini aku melupakannya atau benar-benar lupa atau pura-pura lupa. Aku biarkan saja idealis itu hanya sebuah kiasan masa lampau.
@@@

Kudengar bisik-bisik rintihan di balik pintu kamar mbak Rara, begitu menekan jiwa yang mendengar. Dadaku pun ikut terasa sesak. Doa dalam Qiyamullailnya itu membuat isak yang dalam menghujam ke dasar sanubari. Saat telingaku mendengar rintihan itu, air mataku berhamburan begitu boros. “Ah, mbak…”

Kulangkahkan kakiku untuk mengambil air wudhu. Dinginnya air ditemani semilir angin malam benar-benar terasa menggigit kulit, tetapi aku menikmatinya. Aku berharap dari semua indra ini, meneteslah dosa-dosa bersama tetesan air wudhu, terutama dosa-dosa zina kecil yang tak terasa di usia-usia rawan sepertiku.

Rabb, sebenarnya Engkau lebih tahu bahwa diriku pun telah sangat merindukan sakinah itu…
Siapakah dia yang kan kutemui di ujung penantian yang seakan tak bertepi ini?
Pertemukanlah kami, Rabb, pada masa yang terbaik
dan biarkan kami berhimpun
karenaMu

aamiiin…

Keping-keping Mutiara

Jika boleh memilih, aku ingin hidup dengan sederhana tanpa dikenal banyak orang. Sebuah rumah kayu yang hangat di daerah perkampungan; di sampingnya ada perkebunan kecil dan peternakan sederhana untuk makan satu keluarga. Hidup harmonis dengan tetangga tanpa konflik karena kami sama senang memberi satu sama lain. Akan tetapi, ternyata bukan itu jalan hidup yang Allah pilihkan untukku. Saat ini aku hidup di sebuah jalan dimana aku harus melawan arus serba kelebihan itu dari hati. Seringkali aku goyah dan nyaris terus-terusan hanyut dijauhkan dari idealisme yang selama ini bersarang di hati dan perbuatanku.

“Mas, aku tak menuntut banyak… tapi perhatikanlah hari esokmu,” utara istriku setelah mengeluhkan pusingnya. Namun, saat itu aku tak begitu peduli dengan ucapannya dan memilih untuk kembali berkutat di meja. Sampai saat ini, aku tak tahu sebenarnya dia lebih pusing karenaku atau karena amanah-amanahnya yang menggunung, termasuk menjadi ibu bagi anak-anak. Bodohnya aku tak juga peka dan hanya mendengarkan dengan telinga. Aku masih ingat ia sempat berkata, “aku tak boleh sakit sekarang… mereka menungguku… aku harus sehat!”

Air mataku mengalir deras setelah berlalu malam-malam tanpa dirinya lagi di sisiku. Sepekan sudah jasad itu terkubur di liang lahat, setelah menjemput ajalnya tanpa keberadaanku di sisinya. Aku merindukan senyumnya, aku merindukan nasihatnya, aku merindukan pengertiannya, aku merindukan segala kebaikan hatinya, aku… mengapa aku berhenti melawan arus bersamanya dan sempat ikut hanyut?? Apa yang kulakukan dengan semua yang kumiliki saat ini?? Syukurkah?? Sabarkah?? Atau…

“Mas, jika kita punya harta, itu untuk da’wah… jika kita punya pendidikan, itu untuk da’wah… bahkan, jika kita punya kedudukan, itu juga untuk da’wah… semua yang kita miliki, semua untuk da’wah…”

“Jika suatu saat benturan datang, apa yang harus kita lakukan untuk tetap bertahan??” tanyaku

“Mengingat Ghayah (tujuan.red) dari da’wah ini: Allah…”

Ah, mengapa aku baru mengingatnya setelah kau tiada??
Maafkan mas, Indri… maafkan… mulai saat ini mas janji takkan melupakan semua mutiara itu.

Tunas-tunas Penantian

1. Rabb, Tetapkanlah Ia sebagai Pemimpinku
tik… tik… tik… ZRASH

Hujan tiba-tiba turun dengan deras tanpa ancang-ancang terlebih dulu. Aku kerepotan mengangkat jemuranku sendirian. Maklum, penundaan demi penundaan telah terjadi berhari-hari sampai cucianku begitu menggunung. Hampir saja aku lupa mengambil sepatuku di atas genting miring.

BRRM…

Suara deru motor yang sangat kukenal, sekaligus sangat kurindu. Aku tak bisa menahan leherku untuk tidak menoleh ke arah sumber suara. Ternyata memang benar: Ustadz Adrian lewat pagar rumahku. Hatiku sempat berdebar-debar melihat sosok itu berlalu sekalipun aku tahu ia tak melihatku. Setelah itu, seperti biasa, aku hanya bisa beristighfar tanpa mampu meredam gejolak yang mendalam di dada.

Sudah hampir dua tahun aku memendam perasaan cinta kepadanya…
Perasaan yang begitu dalam, begitu nyeri, begitu indah…

Ustadz Adrian adalah sosok yang sangat bersahaja. Usianya terpaut hampir tepat delapan tahun denganku. Koko dan peci putih adalah ciri khas beliau saat mengajar. Ya, beliau seorang pengajar sejati yang merelakan waktu luangnya untuk beramal tiada henti. Beliau adalah pengajar TPA di masjid yang dekat dengan rumahku. Beliau juga pengajar tahsin bapak-bapak setiap malam Jumat di masjid yang sama.

Secara fisik pun beliau sangat sederhana. Tidak tinggi dan tidak rendah, tidak kurus dan juga tidak gemuk. Sangat pertengahan, bisa dibilang ideal. Hanya senyumnya saja yang menjadi hiasan terindah bagi siapapun yang melihatnya.

Dulu, pertama kali aku bertemu dengannya saat kelas 3 SMU, aku yang tidak mempercayai cinta pada pandangan pertama benar-benar mengalaminya. Saat itu aku belum berjilbab seperti sekarang. Aku masih ingat malam pertemuan itu hujan pun turun cukup deras seperti hari ini.

Padahal aku terpaksa ikut tarawih karena ajakan bibiku yang datang bermalam ke kosanku. Saat itu imam masjid berhalangan hadir karena ada sedikit kecelakaan dalam perjalanan. Maka, pemilik suara indah itulah yang kemudian maju menjadi imam. Belakangan baru kuketahui bahwa ia keponakan sang ustadz. Sejak itu, ia diperbantukan sebagai pengajar di masjid.


“Ya Rabb, tetapkanlah dia sebagai pemimpinku,” doaku berkali-kali saat kembali kudengar tilawahnya. Kuakui perasaan ini tumbuh akut, tetapi perasaan ini pula yang membawa kebaikan untukku. Bermula dari perasaan inilah aku berubah menjadi sekarang padahal dulu aku hanya seorang muslimah yang cukup jauh dari ajaran agama.

Aku juga tak paham. Apakah ini rasa yang masih dalam batas kewajaran. Aku hanya tahu perasaan inilah yang dinamakan cinta. Aku tak mengerti mengapa semakin banyak kudalami Islam, aku merasa semakin mencintai Ustadz Adrian. Mungkin karena keindahan Islam terpancar dari dirinya.

Dalam kebimbanganku malam itu aku berpasrah. Doaku yang selama ini kupanjatkan mungkin sudah berakhir. Aku ingin menyerah pada ketentuanNya. Perasaan yang selama ini kupendam ini pun harus kujual. Aku tak mau lagi merusak niatku dalam beramal. Bagaimanapun juga aku tahu ada seseorang yang akan Rabku berikan sebagai pemimpinku.

“Ya Rabb, aku terlalu pengecut untuk maju dan aku tahu ada yang lebih baik baginya dariMu…”
 

2. Rabb, Titipkanlah Bidadari yang KAU Titipkan untukku
“Bagaimana, Adrian?” tanya Ustadz Syaiful kepadaku. Aku hanya menunduk. Aku tahu sudah waktunya bagiku untuk menunaikan setengah din yang belum sempurna itu, tetapi aku belum juga mengerti mengapa kemarin-kemarin aku masih meragukan langkah ini.

“Iya, Ustadz, ana sudah istikharah dan hasilnya kali ini: mantap iya.”

“Alhamdulillah akhirnya… Insya Allah muslimah yang siap pun baik dari segi agamanya,” jelas ustadz menenangkan hatiku. Setelah itu ustadz memberiku tiga proposal muslimah yang telah siap mengambil amanah ini. Kubuka satu per satu saat waktuku senggang.

Muslimah pertama hitam manis. Aku belum pernah mengenalnya, tapi aku bisa membaca segudang prestasinya. Semuanya prasyarat seorang ibu rumah tangga terbaik: juara masak, pengajar tahsin anak-anak SMP-SMA, dan pecinta tanaman.

Muslimah kedua, aku mengenalnya. Ia sangat periang dan supel. Menurut penuturan proposal, ia menjadi instruktur senam muslimah dan sejak SMA suka dengan kehidupan di alam bebas. Sangat cocok jika hidup di desa pedalaman.

Muslimah ketiga… rasanya aku pernah melihatnya, tapi dimana, ya? Ah, iya! Penghuni kosan dekat masjid dimana aku mengajar. Ia tidak kalah cantik daripada dua lainnya, tapi… bukankah ia terlampau muda untuk seusiaku? Masih kuliahan pula. Sepertinya belum begitu mapan…

Setelah kupertimbangkan masak-masak, kemungkinanku memilih tinggal dua: muslimah pertama dan kedua. Harus kuputuskan dengan istikharah kembali agar tidak sia-sia. Bismillah, Ya Rabb, tunjukan kebaikan kepadaku seperti yang pernah Kau lakukan sebelumnya untukku…


Malam semakin pekat dan aku merasa nyaman dalam keadaan bersujud panjang. Kukeluhkan semua kelemahan, kelalaian, dan kebodohanku menjalani hidup. “Jika ku harus mati, pertemukan aku denganMu…”

Kukenang dialog bersama Ustadz Syaiful tadi sore…

“Ustadz, ana bingung…” aduku.

“Kenapa? Belum ada yang pas, Ad?” tanya ustadz. Aku menggeleng, tapi tak kukeluarkan sepatah kata pun. Aku bingung harus cerita seperti apa dan hanya bisa memilh diam. “Ya sudah, istikharahlah lagi saja…” Aku mengangguk saja. Mungkin sekali ini aku akan mendapat jawaban yang bulat.

Rabb, berikanku keyakinan lagi… sekali lagi saja, kumohon… sebelum kujemput dia yang akan Kau titipkan.


3. Rabb, Tatapkanlah Pandanganku Lurus KepadaMU
Aku sudah menyerahkan proposal tentang diriku kepada Ustadzah Maemunah. Kemungkinan besar ikhwannya dicari melalui suaminya: Ustadz Syaiful. Hatiku sudah bulat. Aku akan berusaha untuk ikhlas siapapun muslim yang akan menjemputku nanti. Kan kusambut ia dengan salam menuju jannah bersama.

BRRM…

Seperti biasa suara motor yang khas itu kembali mengganggu pendengaranku. Kali ini aku berusaha untuk memalingkan muka. “Sudah cukup, Wahai Jiwa! Bukankah telah kau putuskan untuk kembali kepadaNya?”

CKIIT…

Suara rem motor itu begitu menyakitkan telinga, lebih daripada biasanya. Mau tidak mau secara spontan kupalingkan juga mataku ke sana. Sepersekian detik mata kami sempat bertemu, tapi itu tidak lama. Namun demikian, sempat membuat dadaku bergetar. Aku bergegas meninggalkan tempat itu untuk segera menghapus segalanya. “Rabb, ajarkanku tentang ikhlas, izinkanku mengecap cinta yang karenaMu…”


Air mataku mengalir begitu menghanyutkan malam itu. Kuingat kembali pertemuan perdana ta’arufku tadi sore. Kini aku tahu siapa dia. Ya, dia adalah dia yang selama ini bersarang dalam do’a-do’aku: Ustadz Adrian.

Aku tak sanggup menatap wajahnya meskipun mungkin saat itu Allah telah menghalalkannya. Aku hanya bisa menjawab dengan kaku setiap pertanyaan yang dilontarkannya dan aku tak bisa bertanya apapun. Ah, kecewakah dia? Apakah Allah sedang menguji kelayakanku? Aku terlalu bahagia, tetapi aku pun juga jadi terlalu khawatir bahwa ikatan suci takkan pernah terjadi. Aku masih merasa ini hanyalah mimpi.

Kutelungkupkan muka lebih lama. Apapun keputusanNya, aku akan ridha… sungguh, sejak kemarin-kemarin, aku telah menyerah dan pasrah pada keputusanNya.


4. Rabb, Tutupkanlah Keraguanku pada PutusanMU
Istriku ternyata berselisih usia delapan tahun denganku. Tak bisa kupungkiri, sekarang aku memang mencintainya. Namun, sampai saat ini aku masih memendam satu pertanyaan, “Kenapa Allah memilih dia untukku? Apa kelebihannya daripada muslimah yang lainnya?” Masih kuingat tiga mimpi setelah istikharahku yang ketiga, aku tetap bertemu dengannya dan bukan muslimah lainnya.

Istriku memang seorang yang ta’at meski memang prestasinya memang tak banyak. Ia pun baru mulai belajar Islam, ia akui, baru sekitar 2.5 tahun yang lalu. Meskipun begitu, ia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Secara fisik memang ia cantik. Ada lesung pipit di kedua pipinya jika tersenyum. Akan tetapi, aku masih tetap bertanya-tanya dalam hati, “Kenapa?”

Aku tak tahu bagaimana mungkin pertanyaan ini tetap terekam rapi dalam hati padahal ia telah begitu baik, berusaha menjadi istri yang terbaik. Meskipun terkadang ia kekanak-kanakan, tetapi itu bukan sesuatu yang mendasar untuk membuatku tak bersyukur. Terkadang, diamnya saja yang membuatku bingung harus melakukan apa. Astaghfirullah, apakah ini memang sebentuk ketidaksyukuran.


Hari ini aku akan pergi ke luar kota karena pekerjaan. Karena kali ini lebih lama, sedangkan istriku masih duduk di bangku kuliah, aku pergi sendirian seperti kembali membujang. Saat aku pergi, lama sekali ia mencium tanganku kemudian kurasakan air matanya mengalir membasahi tanganku.

“Mas,” ucapnya, “Aku tahu aku masih belum menjadi istri yang sempurna. Aku masih punya banyak kekurangan. Aku belum bisa memenuhi kriteria ideal seorang istri…” Mendengar ucapannya di sela-sela isak membuatku terenyuh. Kupegang kepalanya perlahan dan meletakkannya di dadaku. Kubiarkan ia puas menangis di sana, tapi ia kembali mengucapkan sesuatu, “Mas boleh menikah lagi…”

Aku terperanjat kaget mendengarnya. Bukankah poligami adalah sesuatu hal yang menyakitkan bagi seorang wanita, tetapi apa yang dia katakan tadi? Aku pikir mungkin aku salah mendengar kalimat, “Mas tidak boleh menikah lagi…”

Disusutnya sisa air mata dan menatapku dengan lembut. “Aku ridha, Mas,” ucapnya lagi, “aku lebih tidak rela jika Mas malah berzina di sana. Aku ingin kita ke jannah bersama dan Mas pun boleh mengajak seorang lagi…”

Aku menatap mata bening itu. Yang terpancar di sana hanyalah ketulusan dan… cinta! Kini aku mengetahui jawaban pertanyaanku selama ini. Dengan jawaban inilah aku menumpahkan semua cintaku kepada seorang wanita: hanya kepada istriku ini. Aku sadar bahwa ia memang tidak sempurna, tetapi cintanyalah yang membuat aku dan cintaku menjadi sempurna. Lantas, bagaimana mungkin aku bisa mendua?

“Aku mencintaimu karena Allah…”
[end]

Jundi Kecilku

“Oa… oa….”

Rasa sakit di sekujur tubuhku langsung sirna mendengar jeritan nyaring itu. Jundi kecilku telah lahir dengan selamat.

“Alhamdulillah,” syukurku. Kulihat sekilas sosok mungil itu dibawa dan diazankan terlebih dulu.

Rasanya aku ingin beristirahat meregangkan otot-ototku yang telah menegang. Sejenak saja… sejenak saja.
@@@

“Namanya Ahmad Ainul Ilmy,” jawabku atas pertanyaan tetangga di rumah baruku itu.

“Subhanallah… nama yang bagus,” tanggapnya. Aku pun tersenyum mendengarnya. Itu harapanku.

“Tentu berat membesarkan seorang anak tanpa didampingi sang suami,” ujarnya sambil menyingkap sedikit gorden yang menutup jendela rumah kami. Cahaya matahari yang masih lembut pun menyusup ke dalam ruangan.

Kutatap jundi kecilku yang tetap terlelap dengan damai. Ada kehangatan yang menyelemuti batinku saat menatapnya. Sementara itu tak ada dialog lagi antara kami. Yang ada hanyalah sunyi.

“Maaf… saya malah membuka luka yang sudah tertutup,” ujarnya memecah keheningan.

Aku terdiam, mengambil waktu untuk berpikir, kemudian mencoba mengangkat suara, “Kullu nafsin dzaaiqatul maut.” Aku berusaha menahan genangan air mata di pelupuk mataku yang nyaris jatuh lalu kembali mengangkat suara, “Tidak apa-apa. Sudahlah. Tak usah dipikirkan! Lagipula, Allah akan tetap bersama kami, Insya Allah, amin.”

“Semoga mendapat pengganti yang lebih baik lagi ya, Neng,” doanya. Aku kembali tersenyum. Sudah, Bu. Aku sudah dapatkan penggantinya, yaitu si mungil ini.
@@@

Jundi kecilku mulai berjalan. Sesekali ia terjatuh, bahkan hampir-hampir ia menangis. Namun, dengan semua dukungan dan penyemangat dariku, ia melangkah lagi dan lagi. Begitu tiba di hadapanku ia tersenyum dengan manis dan tertawa sambil sesekali terjatuh memeluk kakiku. Kadang dengan merangkak, kadang berguling, atau bahkan terkadang ia berjalan pelan-pelan, ia menghampiriku yang tengah beraktivitas.

“BRUK!” lagi-lagi ia terhampar ke lantai. Aku yang sedang membuat makan siangnya segera menoleh ke arah sumber suara. Kulihat jundi kecilku tengah berguling-guling di atas tikar –tampaknya ia mencoba menarik perhatianku— lalu tertawa.

“Anak bandel!” ujarku geram dengan nada sayang, “mencoba menipu ummi dengan suara jatuhmu, ya?”

Aku tersenyum, ia tertawa. Tawa yang polos mirip tawa seseorang. Mirip sekali. Mirip…

Kupalingkan mukaku dari sosok mungil itu. Aku khawatir ia tahu aku tengah menangis sebab ia pun akan ikut menangis. Kususut air mataku dan cepat-cepat menyajikan santapan untuk jundi kecil yang tetap setia menungguku. “Saatnya makan, Ahmad.”

Kuusap seluruh makanan yang belepotan di mukanya. Tampaknya ia sangat kelaparan. Dengan semangat ia memegang sendok yang terlalu besar untuk ukuran tangannya dan sambil bergetar menyuapkannya sendiri ke mulut. Setelah beberapa saat ia berhenti lalu melihat ke arahku dan memandangku seolah bertanya, “Ummi udah makan?” Ia mengambil sesendok buburnya dan hendak menyuapkannya ke dalam mulutku.

Aku menggeleng. “Ummi sudah kenyang kok liat jundi kecil ummi yang lagi makan,” ujarku sambil mengelap mulutnya yang masih belepotan.
@@@

Dengan rasa gelisah campur takut aku menekan tuts telepon di hadapanku. Sambil terus menahan kegugupanku, dengan gemetar kutekan tuts terakhir.

“Halo?” sapa suara di seberang sana.

“Ma, ini Maria, Ma,” ucapku setengah berbisik. Perasaanku pun berpendar.

“Maria, kamu kemana saja, Nak? Kamu dimana sekarang?” tanya suara lembut itu, “mengapa kamu tidak pulang saja setelah suamimu meninggal?”

“Ma, bagaimana kabar semuanya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan sambil terus mengendalikan semua suara yang berkecamuk dalam hatiku.

“Baik. Semuanya baik-baik saja. Adikmu sudah sarjana dan ayahmu tetap aktif di misinya,” jelas mama, “kapan kamu pulang? Kami menunggumu dan anakmu…”

“Tuut…tuut….” Tiba-tiba bunyi itu terputus. Entah karena kartu teleponku yang sudah habis pulsanya atau karena seseorang sudah memutuskan kabelnya di seberang sana.

Aku menghela napas pelan. Aku harus pulang sebelum Leni yang kutitipi Ahmad kerepotan. Aku harus pulang sebelum Ahmad menangis karena lama tak menemukanku. Bagaimanapun juga aku harus pulang, tapi tidak ke rumah itu sebab bagaimanapun juga aku harus menyelamatkan aqidahku dan terutama aqidah jundi kecilku.
@@@

Sudah tiga hari jundi kecilku sakit. Badannya panas sekali. Ada sekitar tiga-empat orang yang menjenguknya setiap hari baik tetangga atau teman SDnya. Hari ini untuk ketiga kalinya Leni yang paling rajin menjenguk datang lagi ke rumah.

“Gimana kabar si cakep, Mi?” tanyanya.

“Panasnya sudah agak turun, tapi ia tetap mengigau,” jawabku, “maaf ya, untuk sementara privatnya diliburkan dulu.”

“Yang itu mah jangan dipikirin, Mi! Ummi sendiri jadi kelihatan semakin kurus. Nah, jadi Ummi perhatiin aja dulu kesehatan Ummi sendiri,” sarannya.

“Iya, Mi. Nyantai aja lagi kita-kita mah ga privat juga. Ntar, kalau Ummi yang sakit, kan kita malah yang repot,” tambah Hesti.

Aku tersenyum. Bagiku mereka adalah hiburan yang berharga. Mereka adalah saudari-saudariku yang masih belia. Meskipun aku tidak mengajar mereka sejak Ahmad sakit, mereka tetap membayar uang lelahku. Untuk biaya pengobatan Ahmad, kata mereka.

“Mana Euis dan Siti?” tanyaku.

“SMA mereka ada acara gitu, Mi. Jadi, mereka mau bantu bikin dekorasi ruangan buat acara nanti,” jelas Hesti.

Pembicaraan kami pun meluas. Dari satu topik ke topik yang lain. Beberapa lama kemudian mereka pun pamit bersamaan.

“Ummi… ummi…,” panggil Ahmad dengan suara yang nyaris tak terdengar.

“Ada apa, Ahmad? Ummi di sini,” ucapku, juga dengan nada lemah. Sudah hampir tiga hari ini aku tidak cukup makan dan istirahat.

“Ummi, kepala Ahmad sakit. Sakit, Mi,” ujarnya.

Kupandangi ia dengan penuh kasih sayang. Maafkan Ummi, sayang. Ummi tak bisa apa-apa.

“Ummi, Ahmad jadi pengen ketemu ayah, Mi. Bisa ketemu tidak, Mi?” tanyanya polos dengan nada suara yang semakin melemah.

Mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut jundi kecilku itu, aku tak bisa menahan air mataku jatuh. Aku menangis sesenggukan.

“Ummi, kenapa? Jangan menangis, Mi!” ujar Ahmad, “nanti kalau Ahmad bisa ketemu ayah, Ahmad sampaikan salam Ummi.”

Aku mengengguk-angguk sambil terus menahan nyeri di dadaku. “Iya, Ahmad. Iya,” bisikku menenangkan.
@@@

Ya Rabb,
Segala puji bagi Engkau yang telah mengenalkanku iman
Tanpa ia, aku tak sanggup menata hidup seindah ini
Tanpa ia, tentu aku akan mengambil jalan putus asa

Ya Rabb,
Shalawat tetap tercurah kepada Muhammad saw, penyampai risalah ini
Kuharap darinya syafaat di hari nanti
Kuharap aku bagian dari air mata cintanya

Ya Rabb,
Aku hanya hamba-Mu, tak kurang dan tak lebih
Kuadukan segala kelemahanku, kubeberkan semua kelalaianku
Aku mengetuk pintu rahmat-Mu, memohon cinta-Mu

Kasihilah jundi kecilku… jangan Kau buat kesakitannya lebih lama lagi! Ia buah hatiku, tapi demi Engkau, Kaulah cinta pertamaku. Seandainya Kau membutuhkannya, maka tegakkanlah ia di jalan-Mu! Namun, seandainya Kau berkehendak untuk mengambilnya, maka janganlah lama-lama kau cederai ia! Ia hamba-Mu dan aku hamba-Mu. Aku pun menderita ketika ia menderita

Ya Rabb, aku adalah seorang ibu: pengasih bagi anaknya
Dan Engkau adalah Pencipta: Pengasih bagi ciptaannya
Aku menagih janji-Mu
kasih-Mu lebih kasih dari kasih seorang ibu kepada anaknya
kasih-Mu mengalahkan murka-Mu

Maafkan hamba-Mu ini… jangan Kau dera aku sebegini pahit! Aku lari, sungguhpun tanpa sesuatu serta, hanya tangan hampa, selain dengan harapanku pada-Mu. Seandainya Kau masih membutuhkanku untuk jundi kecilku, maka kuatkanlah aku tegak di jalan-Mu! Namun, seandainya Kau memilihku di sisi-Mu, maka gantikanlah jundi kecilku wali yang lebih baik dariku, yaitu Engkau Sebaik-baik Pemelihara. Aku hamba-Mu dan ia hamba-Mu. Perasaanku terpelihara ketika Kau memeliharanya.
@@@

Malam itu aku berbicara empat mata dengan Nita, sepupu almarhum suamiku dari pihak ayahnya. “Kamu tak keberatan kutitipi dia?” tanyaku meminta jawaban tegas darinya.

“Insya Allah,” jawabnya melegakanku, “dia adalah titipan Mas Irvan yang terakhir. Aku akan menyayanginya seperti anakku sendiri.”

Aku memeluk Nita dengan haru. Betapa Allah menyayangi setiap hamba-Nya. Aku menemukan jalan keluar setelah menemukan masalah. “Terima kasih, Nita. Hanya Allah yang akan membalas semua kebaikanmu,” ucapku.

Nita memandangku dengan mata yang basah. Kami pun berpelukan dan menghamburkan air mata yang dari tadi menyesakkan dada. “Mbak, cobalah dulu terapinya! Setidaknya masih bisa memperpanjang umur,” sarannya untuk kesekian kalinya.

Aku memandang wajah ayu itu kemudian menggeleng pelan. “Yang memperpanjang umur itu hanya Allah, Nit. Lebih baik dana yang ada kuberikan kepadamu untuk memperbesar usaha suamimu. Dengan begitu, Ahmad pun akan mendapat bagiannya,” jelasku. Sekali lagi kami berpelukan. “Maaf, aku merepotkanmu. Maaf…”
@@@

“Ummi, cepat sembuh, ya!” ujar Ahmad sambil memijat kakiku.

“Ahmad, jangan urus Ummi saja. Cepat menghapal sana! Besok kan kamu ada UAN?” ujarku membelokkan pembicaraan.

Ia menampilkan ekspresi usilnya dan dengan tenangnya ia menjawab, “Tenang, Mi! Insya Allah SMA favorit di tangan.”

Aku tersenyum. Jundi kecilku kini sudah besar. Banyak prestasi yang telah diraihnya, salah satunya adalah olimpiade sains tingkat SMP. Karena ia sudah maju ke tingkat nasional, surat rekomendasi ke sekolah impiannya diterima dengan mudah. Berarti tinggal beberapa saat lagi…

“Mi… Ummi… wah sudah terlelap padahal Ahmad belum memperlihatkan surat sakti ini. Hehehe, Ummi pasti senang apalagi kalau sekarang Ahmad belajar,” ujarnya sementara aku tetap pura-pura memejamkan mataku dengan rapat.

“Mi… wah, tidur beneran! Ya udah, Ahmad belajar, deh!”

Dalam hati aku tersenyum melihat tingkahnya yang lucu itu. Kubuka mataku pelan; ia sudah meninggalkan kamarku. Setelah agak lama, kulangkahkan kakiku yang sedikit ngilu itu keluar. Kulihat ia sedang terbaring di lantai dengan buku-buku yang terbuka di sekelilingnya. “Kok ikhwan berantakan?” Kuusap kepalanya.

“Tanpa berantakan tak ada belajar, Mi!” ujarnya tiba-tiba bangun.

Aku agak terkejut. “Ya Ampun, ni anak bisanya hanya menggoda Ummi!” ujarku sambil mengacak-acak rambutnya.

“Habis Ummi tidur terus. Ahmad jadi khawatir,” ujarnya.

“Orang tidur apanya yang harus dikhawatirkan? Aneh kamu!”

Dia terdiam sesaat dan akhirnya mengangkat suara, “Ummi, jangan buat Ahmad sendirian, ya!”

Aku sedikit terpukul mendengarnya. Kenapa kau katakan itu? “Tidak. Kita tak pernah sendirian. Ada Allah dimanapun kita berada,” nasihatku padanya.

“Ahmad, kamu ingin menjadi jundullah seperti ayah, kan?” tanyaku. Ia mengangguk. “Jangan putus asa menghadapi apapun! Cintailah Allah dan Rasul-Nya melebihi apapun!”

“Melebihi Ummi juga?”

“Iya. Melebihi apapun dan siapapun.”

“Ahmad akan berusaha!”

“Nah, itu baru anak Ummi. Ummi pegang lho janjimu itu.”

“Nah juga, Ummi lekas istirahat! Jangan duduk di lantai dingin! Biar nanti Tante Nita yang mau kesini sama Ahmad yang masak makan malam.”
Aku pun beranjak dari tempat itu. Aku memang perlu istirahat agak lama, ah tidak, maksudku istirahat sampai “hari itu” tiba.

Bangunlah Bidadariku…

“Ummi,” panggilku kepada sosok yang terbaring lemah di rumah sakit itu, “besok Nadia akan menikah.”

Kulihat wajah pucat itu tak sedikitpun mengeluarkan ekspresi. Gurat di wajahnya menampakkan ia telah berjuang lama untuk tetap hidup. Matanya tetap terpejam rapat. Meskipun ummi sudah tak sadarkan diri sejak dua tahun yang lalu, tak sebentar pun aku lupa kehangatannya.

“Ummi,” panggilku lagi. Tak terasa air mataku mengalir. Aku ingin sekali ummi menyaksikan pernikahanku dengan Mas Ramli, tapi Allah tidak menghendakinya. Sekeras apapun aku berdoa, ummi tetap tak sadarkan diri. “Ummi…” aku berharap isakku bisa menyelam ke dalam hatinya, “Ummi, Nadia ingin seperti Ummi. Nadia juga punya mimpi yang sama, Mi. Nadia ingin menjadi seorang ibu dari mujahid-mujahidah yang luar biasa. Maafkan, Nadia, Mi…”

Sambil kulap badan ummi dengan handuk basah yang hangat, kuingat kembali peristiwa tragis di rumah kakek sore itu. Ummi yang menangkap adikku, si mungil Hasan, yang nyaris jatuh ke dalam sumur. Namun, malah ummi yang berbalik jatuh sehingga kepalanya terantuk dasar sumur yang saat itu airnya dangkal. Ummiku tak pernah sadar lagi setelah itu.

“Ummi, Nadia mencintaimu…” bisikku, “maafkan Nadia, Mi, tapi abi dan Mas Ramli sudah mendesak untuk segera menikah. Sebenarnya aku ingin Ummi juga datang…”

Bagaimanapun aku meminta, Ummi tetap damai dalam tidur panjangnya.
@@@

Sepekan setelah pernikahanku, Hasan yang sekarang sudah duduk di kelas dua SD membawa teman-temannya ke rumah. Aku agak kerepotan dibuatnya. Pekerjaanku di depan kompi belum juga kelar, tapi aku harus mengangkat jemuran karena awan mendung sudah menggelayut tebal.

Kulirik jam dinding di ruang tengah. Sudah pukul dua siang. Pasti abi sekarang sudah sampai di rumah sakit. Hari ini abi bilang akan mengajak ummi keluar rumah sakit dengan kursi roda. Meskipun mata itu tetap terpejam, kami sangat berharap bahwa ummi akan lebih segar dan semakin dekat dengan kepulihannya jika merasakan udara luar.

“Hasan, ajak teman-temanmu makan gih! Mbak udah masak nasi goreng kesukaanmu tuh,” pesanku pada adikku yang masih sangat lucu itu.

“Oke, Bos!” jawabnya senang tapi dia tidak segera bangkit depan lemari es setelah minum, “Mbak, aku kangen banget sama ummi…”

Aku tersenyum haru. “Bersabarlah, De.”
@@@

Mas Ramli pulang membawa sekotak brownish cokelat. Hasan senang luar biasa dengan oleh-oleh itu. “Abi mana?” tanyanya.

“Tadi nelpon, katanya hari ini takkan pulang,” jawabku sambil membantunya melepas jas dan dasinya. Baru saja aku hendak ke dapur untuk mengambil segelas air putih atau secangkir cokelat hangat kesukaannya, dia menahan lenganku.

“Siapa yang paling berhak atas seorang wanita setelah Allah dan Rasul-Nya?” tanyanya tiba-tiba.

“Suaminya,” jawabku singkat meskipun merasa aneh juga mengapa ditanyakannya hal itu. Apa dia mau mengujiku?

“Siapa yang paling berhak atas seorang laki-laki setelah Allah dan Rasul-Nya?” tanyanya lagi.

Aku yang masih juga keheranan tetap menjawab, “Ibunya.”

“Kalau begitu, duduklah di sini. Aku ingin bicara,” pintanya. Aku pun tak jadi pergi ke dapur. Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya ada nada yang sangat serius dari mulutnya. Aku siap mendengarkan.

“Ibuku memintaku pergi ke Solo selama satu bulan. Ada saudara sepupuku yang sedang membutuhkan bantuanku. Menurutmu apa yang harus kulakukan?”

“Pergilah,” jawabku singkat karena ingin menyembunyikan kesedihan. Betapa banyaknya amanah da’wahku akhir-akhir ini harus dikerjakan tanpa seorang partner. “Pergilah,” ulangku, “ta’ati perintah ibumu…”

“Aku tahu kamu akan mengizinkanku, tapi sebenarnya aku ingin membawamu ke sana juga.”

Aku mencoba merangkai kalimat, tapi tak bisa, “Mas, Nadia tahu bahwa Maslah yang paling berhak atas diri Nadia, tapi Nadia juga seorang anak sebelum Nadia menjadi seorang istri. Mengertilah, Mas…”

Akhirnya dia mengalah. Dia mengizinkanku untuk tinggal sementara dia akan pergi besok pagi. “Aku sebenarnya ingin kau menjadikan software itu proyek terakhirmu agar kau tidak terlalu lelah bekerja dan banyak berbekal untuk menjadi pendidik anak-anak kita nantinya.”

Aku senang dengan perhatiannya, tetapi bagaimanapun juga aku tak ingin meninggalkan amanahku di sana. “Aku belajar psikologi anak sejak Hasan lahir,” jawabku. Dia tersenyum paham. Bagiku, pengertiannya adalah peluangku untuk banyak bergerak.
@@@

Dinding serba putih itu terasa bergerak padahal tubuhku sangat lemas. Aku seakan setengah sadar melihat dan mendengar sesuatu. Tak utuh. Kepalaku terlalu berat rasanya untuk berpikir sejenak saja. Aku ingin tidur.

Aku merasa tanganku digenggam hangat oleh sebuah tangan yang kokoh. “Siapa? Abi? Ah, tidak mungkin. Tangan abi sudah tak sekokoh ini lagi. Mas Ramli? Bagaimana mungkin? Dia sedang ada di Solo…”

“Bangunlah, Bidadari… bangun…” panggil sebuah suara parau. Aku terlalu lemah untuk membuka mata. Aku hanya bisa mendengar permintaan itu samar-samar. Aku merasakan setetes air mengalir di tanganku yang digenggamnya.

“Siapakah yang sedang menangis ini? Apakah itu kamu, Mas?”
@@@

“Mbak, Hasan sudah boleh masuk rumah sakit. Hasan maksa abi buat masuk RS. Meskipun nyelinap sih, hehe. Mbak, bangun dong, Mbak! Bikinin Hasan nasi goreng lagi. Ga ada yang bisa nyamain nasi gorengnya Mbak…” ucap sebuah suara, “Hasan kangen, Mbak…”

Rasanya aku rindu dengan pemilik suara itu. Aku tak tahu siapa dia, tetapi suaranya benar-benar membuatku menyayanginya. Suara-suara itu tetap terdengar tak jelas, tapi aku berusaha untuk mendengarnya.

“Mau berapa lama lagi kamu tertidur di sini, Bidadariku? Mengapa tidak di sampingku saja? Mas benar-benar sudah pulang, sepupu Mas sudah punya usaha lain sekarang. Bangun, Sayang, apa yang harus kulakukan agar kau mau bangun?” terdengar senggukan kecil di sela ucapannya yang makin lama makin bergetar. Aku ingin membuka mataku, tapi tak bisa. Siapapun itu, aku ingin melihat pemilik suara itu, tapi mengapa aku tak juga bisa?
@@@

Aku merasa ada sesosok baru yang menjengukku dari sebelumnya. Dia mengelap badanku dengan handuk basah yang hangat. Aku tetap kaku.

“Kita memang ibu dan anak ya, Nad… dulu ummi begini, kamu yang ngurus ummi. Sekarang giliran kamu yang berbaring di sini, ummi akan selalu mengurus kamu. Maafkan ummi ya, Nak Bangunlah, Bidadariku…”

Suara itu… suara itu… aku berontak. Aku ingin bangun! Wahai tubuhku, aku ingin bangun! Wahai mata, terbukalah! Biarkan aku memeluk pemilik suara itu… biarkan aku bebas! Tangis ummi terdengar dan membuatku semakin meronta. Tanpa terasa air mataku mengalir. “Ummi…” panggilku.
@@@

Kubuka mataku pelan. Cahaya lampu terasa sangat menyakitkan mata saking silaunya. Seberkas bayangan ummi tersenyum, tetapi hanya terlihat sebentar karena aku kembali tertidur kelelahan.

Mas Ramli memberiku minum segelas air putih. Aku hanya bisa duduk pada posisi bersandar pada bahunya. “Ummi mana?” tanyaku.

“Ummi sedang beristirahat,” jawabnya sambil mengelus kepalaku. Aku tak ingat lagi sudah berapa lama aku di sini dan kenapa aku ada di sini. “Maafkan Mas, ya, Nad?”

“Untuk apa?”

“Untuk semuanya…”

“Ah, Mas. Kalau begitu, Nadia harus lebih banyak lagi minta maaf sama Mas…”
@@@

Setibaku di rumah, aku bergegas masuk melalui pintu belakang karena aku tahu ummi sedang memasak di dapur. Belum juga aku masuk, tiba-tiba Hasan yang menyadari suaraku langsung mengahambur memeluk kakiku. Aku hanya bisa mencium dan membelainya tanpa bisa mengangkat tubuhnya.

“Hasan kangen, Mbak… Hasan kangen…,” air mata si kecil tak henti-hentinya mengalir. Aku pun jadi kesulitan memberhentikan dia menangis. Bahkan untuk melangkahkan kakiku, aku belum bisa. Dia benar-benar memelukku erat. Abi yang melihatnya membantuku melerai si bungsu. Aku hanya bisa menangis terharu. Namun, aku merasa ada yang tak wajar dari tangis Hasan. Begitupun dari sikap abi yang bukannya tersenyum dengan tingkah si kecil. Abi juga menangis.

“Mana ummi, Abi?’ aku bertanya galau, “kemarin-kemarin aku masih merasakan perawatannya…” Aku mulai panik dan berlari ke dapur. “Ummi… Ummi… Ummi!” panggilku.

“Mas, kamu bilang ummi sedang beristirahat, kan!? Mana ummi, Mas? Mana!?” protesku pada sosok yang mematung itu. Tiba-tiba Mas Ramli memelukku erat. Aku tak pernah merasa sesesak itu sebelumnya. Di balik punggungku aku merasa dia menangis. Menangis untuk apa?

Dia berusaha untuk bicara dalam sisa tenaganya, “Ummi baru saja diambil Pemiliknya saat kamu baru sadarkan diri…”

Badanku jatuh lunglai. Semua terasa gelap dan aku mulai tak sadarkan diri. “Bangunlah, Bidadariku…” kalimat itu terngiang di telingaku.