Qana’ah Dzatiyah

Qana’ah dzatiyah atau ada juga yang mengatakan qana’ah fardhiyah merupakan salah satu poin yang terpenting dalam ta’aruf*. Singkatnya dalam bahasa Indonesia adalah kriteria pasangan ideal (menurut pribadi masing2). Nah, bahasan kita kali ini sebenarnya terkait janji ochie tentang membahas maksud “1 kafa’ah” atau “sekufu” dalam artikel lain.

Setiap orang berhak menentukan sendiri apa kriteria yang ia harapkan pada diri pasangan. Apakah ia ingin yang kaya raya, rupawan, berpendidikan dan atau berkedudukan tinggi, dll? Akan tetapi, ada yang Rasulullah sarankan untuk memprioritaskan satu kriteria di atas kriteria lainnya.

“Perempuan itu dinikahi karena empat faktor, yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” (HR Bukhari dan Muslim)

Tidak salah pula berharap 1 paket faktor utama itu ada pada 1 orang, tetapi bercerminlah kepada diri kita apakah kita manusia sempurna sehingga mengharapkan pasangan yang tanpa cacat cela?? Maka, turunkanlah standard kriteria menjadi terprioritas: sholeh harus menjadi yang pertama, tetapi yang lainnya??

1. rupawan
kriteria ini sangat relatif dari seorang bagi seorang lain. yang terpenting adalah yang menyenangkan hati jika melihatnya… dan menurutku pribadi cukuplah ia yang murah senyum dan lisannya terjaga dapat dikategorikan rupawan; sepakat?

2. kaya
kriteria ini juga sama relatifnya. yang sebaiknya kita pilih adalah kekayaan yang tak pernah habis meski dibagi-bagi. apa coba itu? yup, harta itu bernama ilmu^^! harta itu akan habis, sedangkan ilmu yang mendukung kekayaan di dunia dan akhirat takkan pernah habis; sepakat?

3. kedudukan
kriteria ini dapat juga disandarkan pada nasabnya, tetapi ia sama lemahnya dengan kriteria lain karena sifatnya yang fana. maka, pilihlah pasangan yang potensi kedudukannya di sisi Allah sangat besar sehingga kedudukan itu akan kekal di surgaNya kelak; sepakat?

Lantas, bagaimana cara mendapatkan dia dengan kriteria yang kita harapkan?

Jawabannya adalah dengan terus-menerus melakukan perbaikan diri agar kita layak untuknya. Sebab sekufu itu adalah keniscayaan dan janjiNya: …wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)… (QS An Nur:26)

Sama baiknya atau sekufu dalam konteks ini bukan berarti kita sama dalam segalanya. Atuh ga seru klo gitu mah! Sebab perbedaan dalam pernikahan itu bumbu yang menghidupkan bahtera (weh, istilahnya). Akan tetapi, menurut seorang ustadzah yang mengisi Sekolah Pra Nikah di Salman, sekufu itu bermakna total poin kebaikan kita = total poin kebaikan pasangan (meski di tempat yang berbeda). Pernikahan pun menjadi momen akselerasi perbaikan ketika kelebihan dan kekurangan satu dengan lainnya saling menyempurnakan.

Ketika kita merasa pasangan kita tak layak untuk kita, coba lihat lebih dekat jangan2 yang salah adalah pada diri kita. Atau mungkin saja ada potensi kebaikannya yang belum tereksplorasi sehingga itu peluang kita untuk meng-upgrade dirinya. Dengan meng-upgrade dirinya, kita pun sebenarnya secara tak langsung meng-upgrade diri kita. Intinya: kadang kriteria harapan itu bukan input pernikahan, melainkan output pernikahan.

Eiss, meleber! Si ochie susa fokus ni…

Di atas semua kriteria yang diharapkan, balik lagi: jangan lupakan prioritas agama bernama taqwa! Sebab inilah kunci kebahagiaan dan kesuksesan dunia akhirat. Pasangan yang bertaqwa merupakan karunia terindah yang akan mendirikan surga di dunia dan mengekalkannya di akhirat.

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Al Hasan Al Bashriy rohimahullah dan berkata kepada beliau, “Sesungguhnya aku punya seorang putri yang kucintai dan banyak orang ingin melamarnya, maka apakah saranmu kepadaku wahai Al Hasan Al Bashriy ?” Al Hasan Al Bashriy mengatakan, “Nikahkanlah ia dengan laki-laki yang takut kepada Allah karena jika ia mencintai anakmu maka ia akan memuliakannya dan jika ia tidak menyukainya maka ia tidak akan mendzoliminya”.

Aku Ingin Menikah

Mengutarakan kalimat ini pertama kali ke pihak-pihak yang berperan dalam hidup sangatlah berat, khususnya buat wanita: MALU. Hei hei, kenapa tidak coba kita utarakan jika memang ingin? Ochie pernah ada di titik ini dan berusaha keluar dari zona nyaman dengan memutus urat malu. Iya, aku ingin menikah! Tolong carikan pacar bernama suami untukku! Iya, aku sangat ingin menikah! Mohon dimudahkan prosesnya (meski hanya dengan sekedar doa)!

BERANI?

Belum cukup sampai di sana. Kadang pihak-pihak tersebut langsung merespon positif, tapi sering justru malah mempertanyakan, “Koq anak ini ngebet banget?”. Bahkan frame tetua yang ga paham agama justru menyarankan anaknya pacaran dulu, memperlebar kemungkinan maksiyat, bahkan tidak khawatir anaknya terpelanting ke lembah zina (na’udzubillah). Mungkin ada alasan kekhawatiran tidak mampu mandiri, belum bisa memimpin / dipimpin, dll… karena standar siap bagi mereka sangatlah tinggi: mapan, berpenghasilan sekian puluh juta, punya rumah, punya kendaraan, dsb.

BENARKAH DEMIKIAN?

Respon mereka memang realistis, tapi menurut pandangan agama: materialistis. Kenapa tidak diturunkan standarnya? Cukuplah bisa kontrak rumah dan punya penghasilan yang cukup untuk berdua, yakni konsumsi makan (masak sendiri), ongkos, listrik, air, dsb (standar sederhana di Bandung: 1 juta/bln, insya Allah). Indahnya dalam pandangan agama Islam bahkan: rezeki justru akan dimudahkan setelah menikah. Mungkin ini ga logis dalam pandangan manusia, tapi ini janji Allah! Tanyakanlah pada orang-orang nekat yang melakukannya semata karena ingin menjaga diri… mereka akan menjawab: ya benar!

LANTAS GIMANA?

Nikah siri? Nikah diam-diam?? Wew, ya gak jugalah. Nikah siri sebenarnya sedikit bertentangan (meskipun ada ikhtilaf atau perbedaan di kalangan ulama) sebab pernikahan itu disyari’atkan untuk disyi’arkan, diumumkan kepada publik. Adakanlah walimah meski dengan syukuran sederhana seandainya tak ada dana besar untuk walimah. Back to kendala izin pihak2 “penghalang”, perlu seni komunikasi saat bicara dengan pihak-pihak tersebut. Perlu niat, perlu konten, perlu kesabaran, perlu keimanan.

MARI PERJUANGKAN!

Luruskan NIAT di hati bahwa menikah adalah sunnah Rasulullah yang pastinya akan mendekatkan kita kepada Allah jua. Menikah ini jalan kebaikan bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat. Menikah memiliki koridor syari’at yang harus tetap dijaga untuk mempertahankan keberkahan agar kekal cinta di dalamnya. Menikah bukan untuk senang-senang sesaat untuk kemudian bercerai hanya dalam waktu hitungan tahun. Menikah bukan karena dilandasi harta, kedudukan, keturunan, rupa yang jika Allah cabut semua itu, selesailah semua. Menikah bukan disebabkan calon istri telah dihamili calon suami (na’udzubillah).

Persiapkan KONTEN untuk melobi. Apa c konten? Setiap permasalahan komunikasi ingin menikah punya konten berbeda, tetapi biasanya yang seragam itu adalah soal tujuan. Keinginan selalu dilatarbelakangi oleh sesuatu tujuan, begitupun menikah. Apa tujuan dari sebuah pernikahan? Setidaknya ada 4 tujuan utama yang disebutkan dalam al-Quran dan as-Sunnah:
1. Menjaga kesucian farj (kemaluan) dari perzinaan serta menjaga pandangan mata. (QS 24: 30-31)
2. Melahirkan rasa tentram (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). (QS 30:21)
3. Mendapat keturunan, dimana anak akan menjadi Qurrata A’yun (penyejuk mata, penyenang hati) (QS 25:74)
4. Memperbanyak ummat Islam. Seperti yang dipesankan Rosul, beliau akan membanggakan jumlah ummatnya yang banyak nanti di akhirat.

Ochie akan share sedikit beberapa contoh tujuan lain yang sebenarnya turunan dari yang di atas, tetapi dengan bahasa kemasan berbeda: ingin dipimpin / memimpin seseorang, rindu seorang penyemangat yang terus berada di samping kita, perlu seorang pengimbang saat mengambil putusan, tak punya kontrol diri yang baik terhadap fitnah zaman, dikejar psikopat cinta, dsb. Teman-teman pasti punya bahasa sendirilah biar mereka paham. Cobalah, siapa tahu salah satunya bisa meruntuhkan pendirian mereka.

Selain konten tujuan (paling panjang nih bahasan ini), ada konten kesiapan, yaitu membuktikan bahwa kita sudah siap mengambil tanggung jawab itu. Ada juga konten da’wah seperti yang melatarbelakangi sebuah pernikahan berdasarkan perspektif agama atau bahkan keilmuan lain (yang disukai mereka). Konten apapun itu, jangan biarkan mereka tak mengerti bahasa kita karena ke-sok tahu-an kita. Tak semua orang pandai memillih diksi, tapi intinya lakukan ikhtiyar terbaik kita.

Jangan anggap instan dan kuatkan KESABARAN dalam melobi. Seni komunikasi yang paling harus diasah adalah ini. Mungkin ada yang berhasil dengan sekali bicara, tetapi seringkali banyak yang gagal berkali-kali sebelum sukses diizinkan. Mulailah komunikasi ketika kondisi hati mereka lapang, berikan sesuatu boleh dilakukan sebelum membuka komunikasi, dan dengarkan mereka dengan telinga sekaligus hati, baru mulailah bicarakan konten dengan mengalir, gunakan perspektif mereka, kemudian pandai-pandailah mendebat dengan menghindari kata “tapi” atau pengingkaran terhadap yang mereka bicarakan.

Yang tak kalah penting adalah KEIMANAN. Yakinlah bahwa Allah akan menjawab doa dan harapan kita (masalahnya pernah berdoa ga?), teruslah husnuzhan kepadaNya (hindarilah su’uzhan sekali pun), dan jangan menyerah (ikhtiyar, ikhtiyar, dan ikhtiyar). Anggaplah ini momen untuk mendapat sebanyak mungkin pahala, semakin mendekat kepadaNya, semakin memperlama sujud kita, dan mencintaiNya di atas segalanya. Semoga Allah menjawab tawakkal kita kepadaNya^^.

MENIKAH? YUK!

Kesiapan Pra Nikah

dari blog pribadi sebelum menikah:

Sebelum memulai langkah pertama, yaitu mencari calon suami yang sekufu (paan c sekufu? insya Allah dibahas di next artikel), ada beberapa yang harus dicek sebagai parameter kesiapan. Apa aja emank? Dari beberapa buku yang pernah kubaca, kira2 inilah resumenya:

a. kesiapan jasadiyah atau fisik
Kesiapan ini dimiliki laki-laki dan wanita yang telah menginjak usia akil baligh (laki-laki ditandai dengan mulai diproduksinya sperma, sedangkan wanita ditandai dengan dimulainya haidh atau menstruasi). Itu artinya organ reproduksi mereka sudah aktif. Dengan demikian, kesiapan pertama sudah dipenuhi.

b. kesiapan fikriyah atau ilmu
Kesiapan ini dilakukan dengan mencari pengetahuan tentang fiqh pergaulan, fiqh ta’aruf, fiqh munakahat, dan advancednya mungkin tarbiyatul aulad / mendidik anak. Termasuk di dalamnya pengetahuan basic, doa-doa, adab perilaku, hingga konflik puncak di dalamnya (talak, ila’, khulu’, zihar). Ilmu ini sangat penting untuk memelihara kebahagiaan di dunia dan tentu saja juga di akhirat.

c. kesiapan ruhiyah atau mentalitas
Kesiapan ini adalah yang paling abstrak menurutku, tapi setiap orang punya parameternya masing2. Ada yang mengukurnya dengan rapinya amalan yaumi, ada yang mengukurnya dengan siap menerima seorang baru yang masuk total dalam kehidupan qta dan menerima 1 keluarga lagi sebagai keluarga qta (siap? hmmm, binun ya dengan kata siap ini). Ada juga yang mengukurnya dengan kontrol emosi. Dkk. Inti ksiapan ini adalah siap memelihara dan mempertahankan pernikahan agar langgeng.

d. kesiapan maaliyah atau kemandirian
Kesiapan ini singkatnya adalah kesiapan finansial; hidup terpisah dari orang tua, mencukupi kehidupan berdua dan anak2 kelak, serta melaksanakan kewajiban zakat dll dengan uang sendiri. Biasanya kesiapan ini dibebankan di pundak kaum adam, sedangkan kaum hawa lebih cenderung dibebankan harus sudah siap dengan perencanaan dan pengelolaan keuangan keluarga.

e. kesiapan ijtima’iyah atau sosial (plus2)
Sebagai tambahan, ada beberapa buku yang menambahkan ini sebagai kesiapan. Inti dari kesiapan ini adalah berperan aktif di lingkungan masyarakat. Artinya, pasangan baru harus siap menerima konsekuensi bahwa status mereka bukan anak dari orang tua lagi, melainkan keluarga baru yang memiliki hak dan kewajiban sebagai bagian dari masyarakat.

Ok, bismillah…
Sebagai langkah pertama, meski ochie belum mulai praktek (kalau kata sebuah milis mah nilai SKSnya masi T, tapi insya Allah mudah2an bentar lagi jalan menuju dapet nilai A), mudah2an ini jadi inspirasi bagi teman2 yang kebingungan. Kalau jodoh belum datang juga, kita persiapkan aja apa yang kita bisa dari sekarang!

Buat istriku tercinta, semoga engkau bahagia

Aku tidak tahu dari mana harus memulai menuliskan beberapa rumpun kalimat buatmu, wahai istriku. Aku juga tidak tahu apakah kepolosanku dan ketulusanku ini akan mendapat sambutanmu. Tapi aku tiada pedulikan itu. Yang pasti, aku hanya ingin engkau tahu bahwa aku adalah suamimu.

Aku tahu bahwa sebagai suami ternyata aku sangat membutuhkanmu, aku katakan ini sejujurnya. Lalu apakah engkau juga sangat membutuhkan aku, suamimu, wahai istriku? Maafkan aku atas pertanyaan ini. Bukan aku meragukan cintamu padaku, aku hanya ingin meyakinkan diriku. Sebab, kebanyakan istri kerabat maupun sahabat-sahabatku pun sangat besar rasa butuhnya terhadap suami mereka. Oleh sebab itulah aku mencarimu untuk kujadikan istri, sebab engkau adalah seorang wanita yang sholihah, lembut, sopan santun, mulia, bertakwa, suci, menjaga diri dan penuh kasih sayang.

Istriku, aku tidak segan-segan berterus terang kepadamu, meski hanya dalam bentuk goresan tinta kita ini di atas lembaran kertas yang juga milik kita, bahwa aku sangat membutuhkanmu. Dan aku tidak menginginkan dari itu semua selain agar tumbuh rasa dalam dada kita berdua akan pentingnya saling menjaga hubungan baik di antara kita. Dan bahwa hubungan yang baik itu jauh lebih mulia daripada kita berlomba-lomba dengan maksud agar diketahui siapa di antara kita berdua yang lebih unggul. Aku berharap engkau pun telah memahaminya.

Istriku, jujur aku katakan bahwa keberadaanmu sebagai istri bagiku kurasakan sangat penting bagi diriku, akalku, hati serta jiwaku. Bahkan sangat penting bagi kehidupanku juga setelah kematianku. Maka kutuliskan suratku ini untukmu, semoga engkau benar-benar mengerti betapa tingginya kedudukanmu sebagai seorang istri, betapa beratnya wasiat agama kita yang telah dibebankan kepadaku setelah aku menikahimu, dan betapa berartinya dirimu bagiku, suamimu.

Istriku, jujur kukatakan, bagiku engkau laksana permata yang sangat berharga yang tadinya aku tak tahu dimana engkau berada dan ke mana aku harus mencari.

Sungguh dunia ini penuh dengan perhiasan, sampai aku tidak kuasa memilih perhiasan mana yang harus kuambil untuk kumiliki, sampai akhirnya Alloh memberikan petunjuk kepadaku, suamimu ini, yang telah payah dan lelah mencarimu sampai akhirnya aku menemukanmu dan menjadikanmu sebagai istri. Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya . Aku tidak mengada-ada untuk sekedar membesarkan hatimu, namun begitulah Rosululloh telah menyatakannya :

“Dunia ini tiada lain hanyalah perhiasan, dan tak ada satu pun dari perhiasan dunia ini yang lebih utama daripada seorang istri yang sholihah.” [1]

Semoga engkau mengerti ini.

Istriku, jujur kukatakan, bagiku engkau adalah sumber kebahagiaan dan penderitaanku. Engkau adalah penghias rumah tempat tinggalku dan kendaraan mewahku, dan engkau adalah sebaik-baik tetanggaku. Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya . Aku tidak mengada-ada untuk mendapat tempat di hatimu, namun begitulah Rosululloh telah mengabarkannya.

“Ada empat hal yang termasuk kebahagiaan; istri sholihah, rumah yang lapang nan luas, tetangga yang sholih dan kendaraan yang nyaman. Dan ada empat hal yang termasuk kesengsaraan; tetangga yang jelek (akhlaknya), istri yang jelek (akhlaknya), rumah yang sempit dan kendaraan yang tak nyaman.” [2]

Istriku, tahukah kau bahwa aku bisa berbahagia bersamamu dan bisa sengsara lagi menderita olehmu? Bukan aku tidak percaya kepadamu bahwa engkau akan membahagiakanku, tentunya engkau bisa memilih. Sebab, aku sudah tahu engkau adalah seorang wanita yang memiliki kecerdasan, apakah engkau akan menjadi sumber kebahagiaanku atau menjadi sumber penderitaanku? Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya, aku berbahagia bersamamu di atas keberkahan hidup bersamamu yang telah dianugerahkan kepadaku, tentunya juga kepadamu. Aku merasa bahagia meski menurut orang lain aku sengsara, aku tidak menyesali banyaknya penderitaan, namun aku sangat berharap keberkahannya. Semoga engkau mengerti ini.

Istriku, jujur kukatakan bahwa tiada sebuah rumah pun yang akan kupandang indah dan kurasa nyaman meski seluas apapun rumah itu bila aku tinggal di dalamnya tanpamu. Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya, sungguh aku bangga padamu, istriku, karena kini aku rasakan rumahku begitu teduh, tentram dan nyaman bagiku setelah engkau yang menjadi pendampingku sejak pernikahan dulu. Semoga engkau mengerti ini.

Istriku, jujur kukatakan, tiada kendaraan mewah yang nyaman aku kendarai meski apapun jenisnya dan berapa rupiah pun harganya jika engkau tidak bersamaku di atas kendaraan itu. Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya , sebab aku merasa tiada tetangga yang berdampingan denganku saat ini, baik di rumahku maupun di kendaraanku yang kurasakan kesholihannya selain dirimu. Semoga engkau mengerti ini.

Istriku, sejujurnya kukatakan, bagiku engkau adalah ukuran kebaikanku di duniaku. Semoga engkau tahu dan memahami ini. Betapa berat amanah yang telah dipikulkan di atas pundakku setelah aku menikahimu. Aku diwasiati untuk menjagamu, bahkan aku diingatkan sekali lagi dan berikutnya dan berikutnya demi kebaikanmu. Aku mengetahui hal ini bukan sekedar mengikuti perasaanku, juga bukan berdasarkan buaian mimpiku, bukan pula dari lamunan dan khayalanku. Namun aku mengerti dan paham lalu seyakin-yakinnya aku yakini dari sabda seorang manusia yang tidak didustakan kabarnya dan tidak dimaksiati perintahnya. Tahukah dirimu bahwa beliau telah menjadikan bagaimana caraku mempergaulimu dalam kebersamaan ini sebagai tanda baik buruknya akhlakku? Beliau pernah bersabda:

“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik di antara kalian ialah yang paling baik akhlaknya terhadap istrinya” [3]

Oleh karenanya, istriku, aku tidak ingin menjadi seorang yang berakhlak buruk sebab tidak bisa berbuat baik kepadamu, dan aku berharap engkau membantuku agar aku bisa memperbaiki akhlakku, (yaitu) dengan memudahkan caraku agar bisa berbuat baik kepadamu. Semoga engkau mengerti ini.

Istriku, bila engkau mendapati kebaikanku, sesungguhnya aku tidak berharap perhatianmu, aku juga tidak berharap pujianmu. Namun, aku hanya ingin semoga Alloh menjadikanmu istri yang sholihah yang berbuat baik kepadaku. Dan, bila engkau mendapatiku tidak berbuat baik kepadamu, semoga kesholihahanmu bisa membuka pintu maafmu bagiku, dan semoga Alloh Yang di atas sana memaafkan kekhilafanku.

Istriku, sebenarnya masih banyak yang ingin aku goreskan dalam lembaran ini. Namun, aku cukupkan dengan mengatakan di ujung suratku ini, bahwa pada akhirnya engkau adalah pelabuhan bahteraku yang aku akan merasa tenang setelah tadinya jiwaku diliputi kecemasan dan ketakutan akan dalam dan dahsyatnya gelombang samudra kehidupan saat masih sendiri sebelum kehadiran seorang istri, dan bagiku ialah dirimu. Aku memuji Alloh dengan sebanyak-banyak pujian kepada-Nya, dan semoga Dia memberkahi hari-hari kita berdua, dalam suka maupun duka.

Dari yang mencintaimu karena Alloh dan untuk Alloh , aku, suamimu.

Penulis: Al-Ustadz Abu Ammar al-Ghoyyami
Sumber artikel: majalah Al-Mawaddah

Catatan kaki:
[2] HR Ibnu Hibban no.1232 dishohihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah
[3] HR Tirmidzi no.1082, dishohihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah